H. UPACARA LAINNYA
1. Njelisen/Sunat
Setelah si anak berumur 10 – 12 tahun, pada umumnya si anak disunatrasulkan. Seminggu sebelum pelaksanaan, famili dari kampung, maupun famili dari luar kampung telah diberitahu; ralik, juelen, sebet, dan guru. Bila waktu pelaksanaan telah tiba, maka kenduri diadakan pada pagi hari. Seluruh undangan diusahakan telah selesai kenduri sebelum shalat ashar tiba, karena biasanya pelaksanaan dilakukan setelah shalat tadi.
Mula-mula orang tua/wali terdekat si anak menyerahkan si anak kepada tengku imem, dan kemudian imem menyerahkan kepada mudim/pelaku sunat rasul. Anak-anak yang akan disunatrasulkan ini didudukkan di atas ampang, yang dibawahnya diletakkan padi sebanyak 16 bambu, yang kelak diberikan kepada mudim. Rupanya di sela-sela alat tapung tawar tadi diletakkan juga tali panjang, yang disebut tali semelah, gunanya untuk peringatan kepada mudim agar dia hati-hati melaksanakan tugas. Kalau misalnya si anak sampai mati, maka mudim juga harus mati dengan tali ini. Jika pekerjaan sukses, biasanya upah/imbalan si mudim menerima beras satu bambu, seekor ayam jantan, beras pulut satu bambu, dan bebera[a bibit kelapa.
2. Turun mani
Seminggu setelah lahir, barulah secara resmi bayi ini dibawa ke sungai untuk dimandikan. Bayi digendong oleh seorang gadis yang berpakaian adat, diiringi bidan dan ibu si bayi di belakang. Gadis penggendong bayi tadi membawa api yang dinyalakan pada kain yang dipintal/demi sedangkan bidan membawa kelapa dan langir untuk si bayi. Sesampai di kali, si bidan membacakan doa, lalu membelah kelapa, tepat di muka si bayi, dengan maksud agar si bayi, jangan takut kepada gejolak dunia yang sebentar lagi akan dihadapi.
Selesai upacara di sungai, orang tua si bayi diwajibkan untuk menebus anaknya sendiri dari tangan si bidan dengan tebusan sebambu beras. Akhir upacara ini adalah dengan diadakannya kenduri sekedarnya, dan setelah kenduri selesai baru anak bayi ini diberi nama.
PENUTUP
Demikianlah ulasan ringkas Budaya Gayo Lues yang dikupas secara sepintas lalu. Ulasan ini sangat dangkal, tidak mendalam, tidak menyeluruh, dan karenanya tentu saja belum memuaskan semua pihak.
Daerah kita ini sudah menjadi kabupaten, karena itu sudah sepantasnya mempunyai sebuah buku Budaya yang standar, yang dapat dipertanggungjawabkan ditingkat provinsi atau nasional.
Pada saat sekarang ini SDM Gayo Lues yang berkecimpung di bidang budaya sudah banyak, namun mereka belum tertarik di bidang penulisan ini, dengan alasan yang masuk akal. Disayangkan memang tetapi kita mau bilang apa.
Semoga dalam waktu yang tidak begitu lama hati mereka akan tergugah dan mau mengupas budaya Gayo Lues secara baik dan dapat dijadikan pegangan. Semoga.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakhtiar, Harsya W, Mattulada, Haryati Subadio Budaya Dan Manusia Indonesia, PT. Hanindita Graha Widya, Yogyakarta, 1978.
2. Kuntjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, PT Gramedia, Jakarta, 1987.
3. Rasyid M. Ryaas, Prof. Dr. Makna Pemerintahan (Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan) PT Yasrif Watampone, Jakarta, 1996.
4. Seminar Adat Istiadat Gayo Lues. Tahun 1962, 1993,1995 dan 2004
Oleh: Drs. H. Salim Wahab
No comments:
Post a Comment