Saturday, January 9, 2010

Ada 5 isi utama budaya, yaitu :

C. ISI UTAMA BUDAYA
Ada 5 isi utama budaya, yaitu :

1. Sistem Pengetahuan
Melalui sistem pengetahuan, manusia mampu beradaptasi untuk menyesuaikan hidupnya dengan alam sekitarnya dan juga manusia mampu meningkatkan produktivitas kebutuhan hidupnya, misalnya meningkatkan produktivitas di bidang perburuan, penangkapan ikan, peternakan, dan pertanian.
Khusus untuk gayo Lues yang terletak di daerah pegunungan berhutan lebat mempunyai kekayaan sendiri berupa binatang hutan, baik yang dapat dimakan atau tidak seperti rusa, kijang, badak, gajah, mawas dan lain-lain. Dari semua binatang itu yang paling disenter manusia adalah rusa dan kijang. Kedua jenis binatang ini sering diburu, sangat disukai orang dagingnya. Namun sistem perburuan sejak zaman dulu masih memakai sistem yang sama, atau konvensional, yaitu dengan memakai jasa anjing. Kepala perburuan disebut pawang, seorang yang ahli dalam mencari tempat rusa, dapat menjinakkan rusa dalam arti rusa tidak akan berlari jauh, rusa lari hanya di sekitar radius yang telah ditentukan pawang. Sebelum berburu, pawang terlebih dahulu membacakan beberapa mantera, dan kepada orang yang ikut berburu diberikan beberapa syarat misalnya tidak boleh takabur, tidak boleh membunuh binatang yang tidak diburu. Kalau yang diburu rusa, lalu berjumpa dengan kijang, atau kancil, atau babi, maka binatang ini dibiarkan saja, tidak boleh dibunuh. Jumlah anjing pemburu, biasanya + 10 ekor dan seekor ditunjuk oleh pawang sebagai ketua.
Kalau misalnya, pawang menyakini di suatu tempat ada binatang buruan, maka dia memerintahkan anjing mencium bau binatang buruan di tanah. Anjing tahu di mana rusa berada, dan pawang memerintahkan anjing-anjing mengejar rusa. Dalam tempo beberapa jam biasanya rusa dapat ditangkap.
Daging rusa dibagi kepada orang yang ikut berburu, dengan syarat orang yang pertama kali menombak rusa tersebut dapat sebuah paha. Kepala rusa diberikan kepada pawang dan hati diberikan kepada anjing-anjing yang ikut berburu.
Satu syarat dalam pembagian daging buruan adalah siapapun orang yang tak ikut berburu tapi ikut melihat rusa yang dikejar, harus dapat bagian daging. Syarat lainnya, kalau boleh daging tidak diperjualbelikan.
Sistem pengetahuan ini dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Dalam Bidang Penangkapan Ikan
Daerah Gayo Lues terletak di pegunungan. Ini artinya bahwa di pegunungan sungai kecil-kecil, karena hanya berupa hulu dari sungai yang besar-besar.
Daerah Gayo Lues adalah hulu sungai Tripe, inilah satu-satunya sungai yang agak besar di daerah ini. Karena itu penangkapan ikan tidak berkembang di daerah ini. Dapat dikatakan ikan hanya ditangkap dengan alat yang sama dari masa-ke masa, yaitu dengan jala, pancing. Ada juga penangkapan ikan dengan alat lain seperti tangguk, tapi hanya kecil-kecilan. Jenis ikan di daerah Gayo Lues juga terbatas seperti gegaring, denung, bado, ikan mas, maut dan lain-lain. Sekarang ini banyak orang membuat kolam dengan memelihara ikan mas, maut dan mujahir. Pokoknya dalam bidang perikanan belum memakai alat tangkap yang mutakhir/modern.

b. Dalam Bidang Peternakan
Daerah pegunungan yang dingin, biasanya tanah miring, dengan kemiringan sampai 45ยบ. Tanah yang landai, rata, sangat kurang jumlahnya. Ini berarti lapangan tempat hewan mencari makan cukup luas karena daerah tersebut tak dapat dipergunakan untuk pertanian. Karena luasnya daerah tempat hewan cari makan, maka pada umumnya hewan dilepas saja, suruh cari makan sendiri, tanpa digembala. Orang kadang-kadang hanya melihat kerbaunya sebulan sekali. Memang benar ada juga yang mengadangkan lembu, kambing, domba, dan lain-lain, tapi jumlahnya sangat sedikit. Dengan membiarkan hewan itu saja dia gemuk-gemuk untuk apa susah-susah mencari makanannya, dan mengandangkannya. Boleh dikatakan teknologi untuk meningkatkan hasil ternak masih belum ada, masih memakai teori lama. Hasil yang dapat diharapkan dari bidang ini hanya dari hasil penjualan kerbau dan lembu, sedangkan kambing, biri-biri hanya untuk keperluan sendiri.
c. Dalam Bidang Pertanian
Pertanian yang diandalkan di daerah ini hanya sawah dan ladang. Boleh dikatakan sawah tidak mencukupi. Maklumlah penduduk semakin bertambah, sedangkan areal persawahan masih tetap. Akibatnya timbul masalah tetap tinggal di daerah ini, dengan ketentuan siap menghadapi kelaparan, atau pindah ke daerah lain yang areal persawahannya luas. Pada umumnya orang memilih pilihan kedua. Daerah yang dipilih adalah Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan Tamiang.


Pengolahan sawah dapat diuraikan sebagai berikut :
Pada umumnya sawah berpaya, tumbuh rumput tinggi. Untuk ini mula-mula dikerahkan beberapa ekor kerbau ke sawah ini. Kerbau-kerbau ini diusahakan berkeliing petak sawah pada pagi hari kira-kira 2 jam. Dalam bahasa Gayo Lues disebut nlajang. Pekerjaan mengusir kerbau di petak sawah, disebut ngoro. Bila tanah sudah lumat, maka barulah manusia turun menata sawah untuk siap ditanami. Pengolahan tanah biasa dilakukan dengan memakai cangkul.
Kalau perlu urutan pengerjaan sawah di Gayo Lues kita urutkan sebagai berikut :
 Sawah yang rumputnya tinggi-tinggi, maka langkah pertama nlajang.
 Sawah yang rumputnya tidak tinggi, maka langkah pertama mencangkul.
 Langkah berikutnya nerlis membersihkan pematang.
 Mencangkul kedua kalinya,
 Ngoro lagi
 Mematal/memperbaharui pematang
 Memerjak menginjak-injak tanah supaya lumat.
 Murulah meratakan tanah.
 Menanam padi
 Muruah = menyiangi rumput
 Membersihkan pematang
 Memeo mengusir burung.
 Munuling memotong padi.
 Meminuh mengumpulkan padi.
 Njik merontokkan padi.
 Munangin mengangin padi biar bersih
 Mutuyuh membawa padi ke umah/rumah
d. Dalam Bidang Perkebunan
Perkebunan belum menggembirakan hasilnya masih belum dikelola dengan baik. Tanaman perkebunan yang utama adalah kopi, dan tembakau. Dari kedua tanaman ini tembakaulah yang banyak membantu ekonomi rakyat. Hasilnya dijual ke luar daerah terutama ke Aceh Barat-Selatan, dan ke Sumatera Utara.
Akhir-akhir ini memang pemerintah sangat mengalakkan perkebunan ini dengan membantu bibit dan biaya pengolahan. Tanaman yang digalakkan adalah kopi, coklat, dan pisang. Namun hasilnya tentu belum kelihatan.
e. Dalam Bidang Perdagangan
Mungkin, sekali lagi mungkin, karena modal kurang pada awalnya, maka orang gayo Lues tidak banyak terjun ke dunia perdagangan. Dari dahulu perdagangan di Gayo Lues, dimonopoli oleh pendatang. Warung misalnya, bertebaran di kota Blangkejeren, tetapi tidak satupun kepunyaan orang Gayo Lues. Hampir seluruhnya dikuasai “ urang awak ”. warung yang menjual mie dan martabak dikuasai oleh “ awak geutanyo ”, toko emas dikuasai oleh “ halak kita ”. Ketiga pendatang ini yang mengatur dan menguasai perdagangan daerah Gayo Lues. Namun demikian, akhir-akhir ini anak negeri mulai bergerak di bidang perdagangan kecil-kecil, seperti tokeh kerbau, lembu, dan barang kelontong.


2. Sistem Nilai Budaya
Koentjaraningrat menyatakan bahwa sistem nilai budaya terdiri atas konsep-konsep yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat. Konsep-konsep tersebut berkenaan dengan hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Dalam kehidupan sehari-hari sistem nilai budaya merupakan suatu pedoman hidup yang ideal yang dicita-citakan.
Sistem nilai budaya pada masyarakat Gayo Lues merupakan suatu pedoman hidup yang ideal yang dicita-citakan sejak dahulu. Pedoman hidup ini dipegang teguh oleh seluruh masyarakat pada umumnya. Sungguhpun demikian, namanya manusia, peraturan sudah dibuat, satu dua pasti ada yang keluar dari rel, menyalahi peraturan yang sudah disepakati. Untuk yang menyalahi peraturan dibuat sanksi, diibaratkan jalan yang bengkok musti diluruskan, jalan yang berlonbang musti ditambal, kalau perlu jalan yang sempit perlu diperlebar. Semua maksud di atas agar segala yang diinginkan tercapai hendaknya.
a. Sarak dan Jema Opat
Di Gayo Lues, daerah pemerintahan yang terkecil disebut kampung. Kampung dalam hukum disebut Sarak. Sarak ini diperintah oleh jema opat, yaitu : sudere, urang tue, pegawe dan pengulute. Keempat unsur jema opat ini mempunyai fungsi masing-masing, sebagai berikut :
 Sudere = rakyat banyak, fungsinya genap mufakat, golongan ini dapat disamakan dengan badan pekerja. Golongan ini harus bersatu padu melaksanakan segala tugas untuk kepentingan bersama.
 Urang tue = perwakilan yang anggotanya diambil dari orang-orang tua yang telah banyak pengalaman, fungsinya musidik sasat, meneliti segala pekerjaan yang bertujuan untuk kesejahteraan bersama, dan juga sebagai penasehat adat.
 Pegawe = golongan masyarakat yang anggotanya diambil dari para ahli dalam pertukangan, dan pengetahuan lainnya, fungsinya muperlu sunet, artinya mereka mengetahui apa yang harus dikerjakan untuk kesejahteraan bersama.
 Pengulute = pemimpin kampung yang diangkat berdasarkan pemilihan secara langsung, fungsinya musuket sifet, pemimpin masyarakat secara adil, tidak berat sebelah. Nyuket kuara gere naeh rancung, nimang kuneraca gere naeh alihen.
b. Sanksi Hukum Menurut Orang Gayo Lues
Hidup kita selalu berdasarkan takdir, dari Allah SWT. Yang harus kita jalani. Ada untung, ada rugi. Apabila dapat untung kita wajib bersyukur, apabila dapat musibah harus bersabar. Manusia yang mendapat keuntungan tidak bersyukur, sangat dibenci Allah, demikian juga manusia yang ketika mendapat cobaan dengan musibah tidak bersabar, juga dibenci-Nya.
Rupanya hidup ini tidak luput dari dua hal yang saling bertentangan. Ada surga, ada neraka, ada senang, ada susah, ada siang, ada malam dan seterusnya. Kita menghendaki hidup aman tenteram, baldatun taybatun, warabbum qafur. Tetapi hampir susah mencapainya. Kita menghendaki di kampung kita tak ada criminal (Bahasa Gayo pelangaran). Namun ada juga, terjadi pelanggaran, apa boleh buat.
Karena itu setiap “ pelanggaran ” kita beri sanksi. Sanksi hukum untuk setiap pelanggaran digolongkan sebagai berikut :
 Diet = pelanggaran yang mengakibatkan kerugian besar bagi orang lain, misalnya seorang membunuh kerbau orang lain, maka dia harus mengganti dengan kerbau yang sama besarnya.
 Bela = pelanggaran yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, ditimpakan sama dengan kerugian yang disebabkan oleh si pelanggar. Nyawa beluh nyawa gantie, rayoh beluh rayoh gantie. Beda diet dengan bela adalah, diet khusus untuk harta yang dapat diganti, sedang bela sesuatu yang tidak dapat diganti.
 Rujuk = pelanggaran/salah jalan yang masih dapat dikembalikan ke jalan yang benar, tingkis ulak ku bide, sesat ulak kudene.
 Maas = pelanggaran yang patut dimaafkan, setelah ditinjau dari segala segi.
Segala sanksi tersebut di atas akan hilang kekuatannya bila yang merasa dirugikan memaafkannya. Apabila yang dirugikan tidak memaafkannya, maka jema opat akan turun tangan menyelidikinya, dengan berpedoman kepada hukum adat, yaitu koro beruer, ume berpeger, malu beruang, mas berpure.
Apabila terjadi pelanggaran :
a. Koro beruer, ume berpeger, terjadi pelanggaran, koro lepas dan merusak tanaman/masuk sawah, maka sifatnya tidak sengaja, kerugian dibagi dua.
b. Koro beruer, ume gere berpeger, terjadi pelanggaran, kerbau merusak sawah, maka kerugian tidak diganti, kesalahan di pihak pesawah.
c. Koro gere berpeger, ume berpeger, terjadi pelanggaran, maka kesalahan ditimpakan kepada pemilik kerbau.
d. Koro gere berpeger, ume gere berpeger, terjadi pelanggaran, maka tuntutan kerugian dianggap tidak ada.
Atas dasar hukum adat inilah segala sesuatu perbuatan yang melanggar hukum, ditarik garisnya.
Sebagai misal, kejadian dalam penghidupan sehari-hari : seorang gadis diperkosa oleh seorang pemuda di luar rumah pada malam hari. Kejadian ini dilihat dari dasar adat tersebut di atas, diselidiki oleh jema opat dengan teliti. Apa sebab si gadis ke luar rumah pada malam hari, sedangkan koro beruer, gadis harus tinggal di dalam rumah pada malam hari. Tanpa pengawal, seorang gadis dilarang ke luar rumah. Sedangkan pemuda dibenarkan ke luar rumah pada malam hari. Kesimpulannya, gadislah yang bersalah, karena itu si pemuda bebas. Diistilahkan dalam bahasa Gayo, i deretni tarak pakanni musang, ideretni uer pakanni kule, di luar kandang makanan musang, di luar kandang makanan harimau. Bagaimana bila kejadian tersebut terjadi pada siang hari?. Bila mereka tidak berencana sebelumnya, dan pekerjaan itu tidak dilakukan suka sama suka, maka untuk pembuktian dilihat beberapa alternatif, yang diistilahkan dengan :
Ike i belang penyemuran, jemur mayak, ike i belang kolak baju murebek, ike i aih aunen labu mupecah. Pembuktian harus nyata, tidak dibuat-buat.
c. Jenis-jenis Hukuman
Bila sesuatu adat dilanggar secara berencana maka hukum harus ditegakkan. Hukuman disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran.
Adapun jenis-jenis hukuman yang berlaku adalah sebagai berikut :
a. Dedok = Hukuman mati bagi si pembunuh dengan mempergunakan kayu bercabang sebagai alat. Kayu ini diletakkan di leher si terhukum, sedemikian rupa sehingga dia tidak dapat berkutik lagi. Caranya, masukkan si terhukum ke dalam air/kolam/sungai, sehingga kepalanya terbenam seluruhnya. Bila dalam pelaksanaannya, kayu tadi patah, sedangkan si terhukum belum mati, maka dia dianggap lepas dari hukuman.
b. Cengkek = Hukuman mati bagi seseorang yang mempunyai mantera-mantera/guna-guna yang mematikan orang lain (ntube). Hukuman dijalankan dengan mencekik leher si terhukum sampai mati dengan mempergunakan tali/rotan. Bila tali putus sedangkan si terhukum belum mati, maka dia dinyatakan bebas.
c. Jeret Naru = Hukuman mati secara in absentia bagi si terhukum yang melakukan zina terhadap saudara sekampung/famili dekat. Si terhukum dibuang ke luar daerah dengan batas waktu untuk selama-lamanya atau minimal sampai dua keturunan. Segala harta yang bersangkutan dikuasai oleh adat dan tidak dibenarkan untuk dibawa si terhukum. Jeret naru juga diberlakukan bagi pembunuh yang melarikan diri. Pembunuh yang tidak bertanggung jawab ini dihukum dengan menyediakan jeret naru. Dia sudah dianggap mati, dan kapanpun tidak dibenarkan pulang ke kampung asalnya.
d. Senum = Hukuman terhadap dua pihak yang berselisih tentang hak atas sesuatu banda atau lainnya. Kepada kedua belah pihak diwajibkan menyelam ke dalam air. Yang terlama di dalam air diputuskan sebagai pemenang.
e. Perang = Perang antarkampung dibenarkan apabila penyebabnya adalah isteri/gadis dilarikan orang, harga diri diinjak-injak orang lain serta harta bersama dirampas orang. Malu tertawan, dunie terlangis, nama teraku, bela mutan. Malu = perempuan, tertawan = tertawan, dunie = dunia/tanah, terlangis = dirampas, nama = harga diri, teraku = rusak, bela = dibela, mutan = tertahan; atau arti keseluruhannya adalah kaum ibu ditawan/dirampas orang, tanah dikuasai orang, harga diri rusak patut diadakan pembelaan.
Jenis hukuman di atas termasuk berat. Jenis hukuman ringan pada umumnya berhubungan dengan pelanggaran hubungan muda-mudi.
d. Dunia Seberu-sebujang dalam Masyarakat Gayo Lues
Orang selalu menaruh perhatian yang sangat terhadap masalah perkawinan; tentu saja bagi pemuda, pemudi, dan bahkan orang tua. Mereka jauh-jauh hari sudah sibuk bahkan sebelum anak-anak mereka meningkat baliq. Tidak jarang, bahkan orang tualah yang paling sibuk mencari dan atau mengintip calon menantu mereka. Orang tua calon menantu sudah didekati, dengan satu tujuan agar mereka berbesan kelak. Bila gayung bersambut, hubungan antarcalon besan menjadi baik, selama tidak terjadi apa-apa yang dapat merenggangkannya. Tidak jarang terjadi hubungan bahkan semakin meruncing bila salah satu pihak berkhianat, misalnya mengawinkan pasangan tadi dengan orang lain. Perkawinan yang didahului dengan pertunangan seperti model di atas, bukan berarti kawin paksa, biasa dilakukan terutama antarfamili/masih ada hubungan darah, antarkampung, bahkan antarbelah. Kelihatan jelas dalam perkawinan di atas orang tualah yang aktif, sedangkan pemuda-pemudi sangat pasif. Anak yang baik tidak banyak tingkah. Mereka ini tidak mau tahu siapa yang jadi jodohnya, toh itu urusan orang tua, dan sudah demikian menurut adat. Seakan-akan tidak ada kemerdekaan dalam pemilihan jodoh. Kalau salah satu pihak, misalnya, berkeberatan dengan jodoh yang sudah disetujui orang tua, yang biasa disebut kawin paksa, biasanya pemudilah yang paling sering menjadi korban. Sekuat tenaga dia menolak jodoh tadi dengan berbagai alasan, sekuat tenaga pula orang tua si pemudi membujuknya, kalau perlu dengan sedikit ancaman. Biasanya pasukan pembujuk yang diturunkan untuk meruntuhkan benteng pemudi ini adalah pihak bibi-bibi tua yang bijak, yang telah banyak makan asam garam. Seorang gadis haruslah kuat urat syarafnya menangkis kefasihan lidah bibi-bibi ini. Mereka berganti-ganti dengan setianya, tanpa jemu-jemunya, berjam-jam, bahkan berhari-hari menyakinkan anak gadis yang kurang patuh ini akan kebodohannya, kekurangpikirannya, tentang keuntungannya bila dia memilih dan menyetujui pilihan orang tuanya. Juga dijelaskan penyesalan-penyesalan yang dialaminya kelak bila melawan kehendak orang tua. Apabila bujukan ini tidak mempan juga, maka ada jalan lain, yaitu meminta bantuan kepada roh-roh nenek moyang, dengan jampi-jampi atau jelasnya dengan jalan halus. Bila jalan terakhir ini juga masih belum mempan, si gadis biasanya lari dan atau bunuh diri.
Sebelum agama Islam masuk ke daerah ini, di daerah ini telah dikenal perkawinan yang bersifat exogam, artinya perkawinan diusahakan di luar hubungan kekeluargaan empat garis vertikal, dan horizontal. Bila dilanggar maka diyakini, akan terjadi angin topan, banjir, letusan gunung, dan lain-lain. Juga sebelumnya perkawinan antarbelah, antarkampung, sangat ditabukan, seperti telah disinggung di muka. Bagaimana setelah Islam masuk? Pada umumnya orang lebih memilih hukum perkawinan secara adat daripada secara hukum Islam, pada mulanya, sungguhpun akhir-akhir ini sudah berubah. Perkawinan antara anak seorang saudara laki-laki dan anak saudara perempuan, menurut agama Islam dibenarkan, tetapi menurut adat, sebaiknya dihindarkan. Bila hal seperti ini terjadi, maka secara Islam dianggap tidak ada masalah, tetapi secara adat, sipelaku akan diejek orang.
Seperti telah disinggung di muka, perkawinan daerah Gayo dipakai hukum patrilineal/kebapakan. Justeru itu perkawinan harus exogam-clan; perkawinan diusahakan dari clan lain dari clan bapak. Perkawinan antara dua orang dalam clan yang sama dianggap tabu/pantang. Clan-clan di daerah Gayo ditandai dengan kuru, keluarga empat keturunan secara vertikal. Batasan ini sangat kabur sekali sehingga para ahli antropologi mengatakan bahwa di Gayo tidak ada clan. Sungguhpun demikian untuk memudahkan clan dianggap ada. Beberapa kuru membentuk sebuah kampung. Pada masa penjajahan Belanda dahulu, kuru ini diistilahkan dengan belah. Setiap kampung terdiri atas beberapa belah.
Ditinjau dari beberapa segi, pelarangan perkawinan satu belah/kampung ada baiknya. Pertama, kampung di daerah Gayo dihuni oleh keluarga yang masih berhubungan darah/famili. Selanjutnya dalam pelaksanaan perkawinan, atau perhelatan lainnya, pemuda dan pemudi mempunyai tugas yang berat. Mencari kayu api, mencari daun pisang, ke hutan adalah sebagian kecil tugas mereka. Mereka ini dilepas bersama-sama ke hutan mencari kayu, tanpa diawasi orang tua. Mereka sudah dianggap adik kakak, seibu sebapak, yang tabu kawin. Kalau misalnya mereka tidak dianggap adik kakak, tentu saja mereka boleh bermain mata. Kalau ini terjadi keamanan kampung rusak, dan kepercayaan terhadap muda-mudi hilang.
Adalah pada tempatnya bila dalam uraian ini juga disinggung secara singkat tentang pengelompokan berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tingkat bangsa. Pada tiap-tiap bangsa di dunia, pengelompokan tadi sangat penting. Pengelompokan ini selalu dilaksanakan dengan upacara-upacara. Upacara seperti ini dipelopori oleh orang-orang tua, mengingat kedudukan mereka sangat dihormati di daerah ini.
Perbedaan usia dapat dilihat dari pakaian, pemeliharaan rambut, dan hiasan badan. Cara bergaul antara pemuda dewasa dan yang belum dewasa sangat intim, dan ini menyebabkan pemuda yang belum dewasa cepat menjadi “ matang ”, tambahan pula perbedaan rohani antara seseorang yang kawin, dan yang belum kawin, demikian kecilnya sehingga masa pubertas seseorang sangat pendek sekali. Pemuda atau pemudi yang cepat didewasakan masih terlalu muda dan belum dapat melepaskan diri dari ketiak orang tua. Sarjana Dr. H. Th. Fisher menyatakan bahwa di daerah Gayo orang terlalu cepat didewasakan, terlalu cepat diberi tanggung jawab perkawinan, terlalu cepat menjadi ibu-bapak, terlalu cepat menjadi orang tua, dan ………… terlalu cepat masuk kubur. Jarang sekali pemuda/i menghabiskan masa mudanya sampai umur 20 tahun, jarang sekali pemuda/i yang sudah kawin lepas dari orangtuanya/jawe, akibatnya pemuda sangat berat tanggung jawabnya, dan jarang sekali berumur panjang.
Apabila seseorang bayi berumur beberapa hari/minggu, untuk dapat diterima menjadi anggota keluarga secara resmi, maka dia harus menjalani suatu upacara yang disebut turun mandi. Dia telah diterima menjadi anggota keluarga dengan diberi nama, rambutnya dipotong untuk pertama kali, dan sebagainya. Upacara selanjutnya adalah upacara menuju pubertas pertama yang dikenal dengan jelisen, atau sunat rasul, yang dahulu kala ditandai dengan menghitam gigi dengan getah jeruk yang dibakar.
Upacara perkawinan juga adalah peralihan dari bujang/beru ke arah telah kawin. Tahap selanjutnya adalah kehamilan, yang didaerah ini dahulu dapat dianggap suatu bahaya, bukan saja bagi si ibu, tetapi juga kungkungan bagi bapak. Dahulu ada upacara penyambutan kehamilan sekian bulan, namun sekarang tidak ada lagi. Yang ada adalah larangan bagi si ibu, dan juga si ayah. Calon ibu yang sedang hamil dilarang keras meniti titian terutama yang terbuat dari batang kelapa atau batang pinang, dilarang makan di atas tangga, dilarang melepaskan rambut ketika memasak, dan lain-lain sebagainya. Sedangkan calon bapak dilarang membunuh atau menyakiti orang, dan binatang, dan lain-lain sebagainya. Bagaimana kalau dilanggar? Tentu berakibat datangnya mara bahaya yang dapat merenggut nyawa anak dan atau ibu.
Pada pengelompokan usia ini juga dapat kita lihat perbedaan antara hak dan kewajiban para anggota. Kewajiban pemuda yang dalam bahasa Gayo disebut sibebujang adalah menjaga keamanan kampung, mengerjakan pekerjaan yang berat-berat, seperti mencangkul sawah, menebang hutan, berkebun, dan lain-lain sebagainya. Sedangkan si pemudi yang disebut sibeberu berkewajiban untuk mengerjakan pekerjaan yang ringan-ringan, sesuai dengan kodratnya, seperti memasak, mencari kayu bakar, menanam padi, dan lain-lain sebagainya.
Diatas telah diuraikan serba ringkas tentang pengelompokan berdasarkan usia. Bila kita lanjutkan dengan pengelompokan berdasarkan jenis kelamin, maka kita akan melihat beberapa hal yang mempunyai segi-segi persamaan dan sedikit perbedaan. Pengelompokan berdasarkan ini dimulai dengan bentuk yang terutama sekali ditandai dengan permainan dan pakaian. Anak laki-laki cepat sekali belajar dari anak-anak yang lebih besar darinya, dan dari bapaknya, sedangkan anak perempuan lebih mengikuti ibunya. Bila anak-anak meningkat besar, kelihatan lebih nyata lagi pembagian pekerjaannya, yang tentu di samping pekerjaan yang dikerjakan bersama-sama antara kedua jenis tersebut. Seorang pasti diejek atau ditertawakan bila mengerjakan yang bukan pekerjaan jenisnya. Demikianlah malunya seorang pemuda bila dia menyabit padi, dan pemudi mencangkul sawah. Sungguhpun pembagian ini begitu tegas dan keras, anggota masyarakat tidaklah perlu gusar bila keluarga mereka hanya mempunyai anak laki-laki, atau anak perempuan saja. Pemuda/i kampung telah mempunyai organisasi sendiri yang bertugas bergotong royong mengerjakan pekerjaan keluarga secara bersama, di bawah ketuanya yang dipilih secara langsung dengan suara terbanyak. Seorang janda tua yang tidak punya anak atau punya anak tapi masih kecil tidak usah takut sawahnya tidak terurus dan terbengkalai. Tugas ini diambil alih para pemuda/i tanpa bayaran apa-apa. Si janda tidak perlu mengeluarkan biaya atau yang lainnya; yang diperlukan senyum dan keramahan lainnya. Adalah merupakan suatu tamparan bagi organisasi pemuda/i bila mereka tidak mau mengerjakan sawah si janda, dengan alasan apapun.
Kehidupan sisebujang, dan siseberu bila diteliti secara seksama sungguh mempunyai keunikan tersendiri. Pemuda/i tidak pernah tidur di rumah sendiri, selain karena tidak dihendaki adat, juga karena rumah keluarga pada umumnya kecil dan tidak mempunyai kamar sendiri.
Para pemuda tidur dalam satu tempat yang disebut manah, yaitu tempat yang khusus dibuat oleh jema opat yang letaknya biasanya di tengah-tengah kumpulan rumah keluarga. Seorang anak yang telah disunat rasulkan jarang sekali tidur di rumahnya bersama orang tuanya sendiri. Bahkan boleh dikatakan tidak pernah ada seorang pemuda yang mau tinggal di rumah sendiri pada malam hari walaupun keadaan rumah besar, kalau tidak mau diejek kawan-kawan yang lain dengan ejekan “ menyusu”. Manah mempunyai banyak fungsi, sebagai tempat bertukar pikiran, menyusun rencana untuk kemajuan kampung, juga menyusun strategi untuk mendapatkan kawan hidup. Hal ini kita singgung mengingat para pemuda setiap kampung akan mengadakan operasi ke kampung lain untuk menjumpai buah hatinya, yang dalam bahasa Gayo disebut “ nrojok ”. jelasnya nrojok dimaksudkan si pemuda mendatangi tempat pemudi menginap pada malam hari dengan maksud hanya sekedar berbicara saja. Biasanya terlebih dahulu sudah ada kode sebelumnya pada siang hari. Jarang sekali pekerjaan ini dilakukan seorang diri. Berombongan jauh lebih disukai mengingat segala kemungkinan yang akan dihadapi. Nrojok ini penuh resiko, yang kadang-kadang nyawa tantangannya, sebab pemuda dari kampung si pemudi yang didatangi tadi tidak tinggal diam. Bila tamu yang “ tidak diundang ” ini kedapatan/ketahuan, maka pedang akan berbicara, dan hal ini dibenarkan oleh adat.
Hampir sama dengan keadaan pemuda tersebut di atas para pemudi juga tidak jauh keadaannya. Mereka tidak pernah tidur di rumah sendiri. Pada malam hari mereka berkumpul di sebuah rumah/biasanya di rumah seorang janda/janda tua inilah yang mengurus pemudi pada malam hari. Beliau punya hak istimewa, punya hak veto, bahkan mendekati hak prerogatif yang tidak dapat diganggu gugat. Pemudi harus rela dinasehati ibu janda ini, walaupun kadang-kadang terasa pahit. Pemudi diajari soal berumah tangga pada malam hari sebelum tidur. Bagaimana memilih suami, bagaimana menyenangkan hati suami, hati mertua, hati famili, bagaimana cara menghidang, cara memasak yang benar, cara mengurus anak, dan lainnya. Semacam penataranlah sifatnya. Antara pemudi dan ibu janda ini hubungan sudah demikian akrabnya, sehingga si pemudi secara terbuka memberitahukan idamannya, dari kampung mana, siapa namanya, dan lain-lain sebagainya. Kalau sudah demikian halnya, pemudi harus luar biasa patuhnya kepada ibu janda ini, dan bila kepatuhan dilanggar bukan tidak mungkin ibu janda ini berkhianat, memberitahukan pacar si pemudi kepada ketua pemuda setempat. Kalau sudah demikian suasana bisa hangat. Si pemudi bisa dimarahi si pemuda, dan atau gerak gerik si pemudi dan si pemuda lawannya akan dijaga dengan sangat ketat, kesempatan si pemudi untuk berbicara dengan pemuda pada malam nrojok, sukar didapat. Ada kalanya ibu janda ini disogok oleh pemuda kampung lain, agar kebebasan berbicara antarpacar dapat berlangsung dalam waktu yang lama tanpa diketahui pemuda pengawal. Tapi harus awas, sebab bila ketahuan ibu janda ini juga dapat dihukum, misalnya si pemuda memboikot segala pekerjaan si janda, atau si pemudi pindah menginap ke rumah janda yang lain.
Seorang pemuda dari kampung lain yang sedang nrojok lalu tertangkap, hukumnya sangat berat, tidak jarang namanya saja yang kembali ke kampungnya. Ada juga baiknya bila kita tinjau pembagian kelompok pemuda kampung. Ada tiga kelompok dalam organisasi pemuda kampung, sebagai berikut :
1. Kelompok pertama, bertugas menjaga kampung, dari gangguan pemuda kampung lain, yang berusaha dengan segala akal untuk memasuki kampung untuk nrojok;
2. Kelompok kedua berusaha menyusup ke kampung lain untuk maksud yang sama, dan,
3. ketiga kelompok pemuda yang memberi kursus/latihan kepada pemuda-pemuda yang belum berpengalaman.
Begitulah misalnya bila ada pemuda lain menangkap pemuda kampung lain, biasanya khabar cepat didapat oleh orang-orang tua. Kalau demikian keadaannya, kedua kelompok cadangan (kelompok 2 dan 3), dengan sendirinya memberikan bantuan terhadap kawan yang tertangkap, dengan segala daya, kalau perlu dengan perang tanding. Karenanya tidaklah mengherankan bila setiap pemuda di daerah ini setiap hari/malam, membawa pedang sebagai alat.
e. Hubungan antara Mertua dan Menantu
Hubungan antara menantu dan mertua di daerah ini terdapat suatu kesopanan tertentu yang disebut tabu mertua. Pergaulan antara menantu dan mertua tampaknya begitu tegang seperti dipandang tidak patut. Masing-masing sedapat mungkin menghindarkan diri dari yang lain. Mereka berbicara secara tidak langsung dan, apabila pembicaraan terpaksa dilakukan, maka dicarilah orang lain sebagai perantara. Misalnya ibu mertua/bapak mertua hendak menyuruh menantunya untuk mencari kerbau yang hilang. Bila di rumah yang ada, selain mereka berdua, misalnya anak kecil yang berumur satu tahun yang belum bisa berbicara, maka kalau ibu/bapak mertua mau berbicara dengan menantunya tadi, harus melalui anak kecil tadi. “ Ali (misalkan anak kecil tani bernama Ali) bilang sama bapakmu supaya dia mencari kerbau kita yang hilang dua hari yang lalu ”. Bagaimana kalau yang ada di rumah hanya mereka berdua ? Mudah saja, sebagai perantara boleh alat dapur, atau yang lain. “ Periuk, tolong bilang sama abangmu itu supaya dia nanti mencari kerbau kita yang hilang ”. bicara mertua agak keras supaya didengar si menantu.
Tidaklah sopan bila seorang menantu/mertua langsung berbicara, seperti dengan kawan-kawan. Bila terjadi hal seperti ini, dan diketahui orang lain, si menantu biasanya harus sabar menerima ejekan orang lain, dengan ungkapan lelang, artinya bodoh, kurang ajar. Cinta mertua-menantu sering disebut orang cinta anjing, disayangi tapi tidak boleh dipegang, haram. Pergaulan mertua-menantu selanjutnya tidaklah pernah di antara mereka itu makan bersama dalam satu tikar, menantu dilarang keras melangkahi tempat tidur mertua, tidak boleh menatap mata mertua, dan lain-lain sebagainya. Bentuk-bentuk pergaulan itu selain terhadap mertua, juga terhadap kerabat-kerabat terdekat, bahkan pada zaman dahulu, kalau tidak sangat penting sekali si menantu tidak dibenarkan memasuki kampung mertua. Pada waktu menantu masih dalam keadaan bulan madu, segala pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh mertua, menjadi tanggung jawab si menantu. Dari pagi sampai matahari terbenam si menantu akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk bekerja sekedar untuk mendapat kepuasan mertua dan familinya. Bila ujian ini sukses, si menantu mendapat pujian dari mertua. Konsekuensinya, si menantu sudah mudah meminta apa saja yang diperlukan keluarga menantu. Bagaimana keadaannya, kebalikan dari keadaan di atas? Si menantu yang agak malas, biasanya diejek famili, dan kurang disukai. Bila pekerjaan si menantu ini belum juga rampung, padahal seharusnya sudah rampung, maka pemuda boleh menanam pokok pisang di sawah si menantu pada malam hari. Ini suatu tanda bahwa sawah tidak boleh lagi dikerjakan, menurut adat Gayo. Rugi memang, tapi apa boleh buat, tangan mencencang, bahu memikul. Arti hukuman ini untuk si menantu adalah dipersilahkan untuk ..... lari malam, atau merantau dalam waktu sekurang-kurangnya sekali musim tanam. Rupanya efek sampingan lainnya adalah orang akan berpikir dua kali mengambil menantu dari famili si terhukum.
Masih sekitar hubungan mertua menantu. Bila ada orang bertanya, siapa nama mertuanya, si menantu selalu menghindar menyebutkannya, demikian pula si mertua hampir tidak “ tahu ” siapa nama menantunya, walaupun mereka tidak berdekatan. Si menantu perempuan tidak boleh memanggil ama/bapak kepada mertua laki-laki, tetapi menggantinya dengan panggilan tuen/tuan.
f. Gelar Semu
Para antropolog mengatakan bahwa orang Gayo, sama dengan orang Batak, punya gelar semu. Gelar atau nama yang bukan sebenarnya, dan atau panggilan yang bukan sebernarnya.
Liku-liku gelar semu ini diatur sebagai berikut :
Seseorang (katakanlah namanya si Ali), bila belum kawin, namanya dapat dipanggil Ali, oleh orang-orang yang lebih tua dari dia, atau dalam bahasa antropologi disebut derajat tutur. Bila Ali sudah kawin, tetapi belum punya anak, nama Ali tidak boleh lagi menjadi nama panggilan, derajat Ali naik satu tingkat, dan sebutan baru adalah aman mayak. Beberapa bulan kemudian lahir anaknya laki-laki, maka si Ali mendapat gelar baru sebagai aman win; win adalah panggilan untuk anak laki-laki di daerah Gayo, Aceh = agam, Batak = ucok, Minang = buyung. Bila anaknya lahir perempuan, maka panggilan si Ali menjadi aman ipak, ipak panggilan untuk anak perempuan secara khusus, sedangkan secara umum disebut etek, Aceh = inong, Batak = butet. Bila anak yang lahir ini telah diberi nama, misalnya bila anak yang lahir ini telah diberi nama, misalnya Seman atau Timah, maka si Ali dipanggil Aman Seman, atau kalau anaknya perempuan tadi dia dipanggil Aman Timah. Panggilan terhadap Ali ini, walaupun dia sudah bergelar Aman Timah, misalnya, dia boleh saja dipanggil Aman ipak, atau Aman win, panggilan seperti ini lebih halus dan bersifat kekeluargaan, serta agak terhormat. Gelar semu ini akan berlanjut terus beberapa tingkat lagi. Bila si Seman, anak Ali tadi kawin dan belum punya anak, maka si Ali mendapat gelar semu sebagai Empun Mayak, dan bila cucu pertama lahir, belum diberi nama, gelar baru si Ali adalah Empun Win, atau Empun Ipak, bila cucu pertamanya adalah perempuan dan belum diberi nama, atau Empun Timah, bila cucunya yang pertama bernama Timah.
Serupa dengan gelar semu Ali di atas, maka berlaku juga bagi isteri si Ali, yang bernama Unah. Kalau untuk si Ali Aman Mayak, maka untuk Unah Inen Mayak, demikian juga Aman Win bagi si Ali, maka Inen Win, bagi Unah, aman Seman bagi Ali, Inen Seman bagi si Unah. Untuk jelasnya lihat tabel di bawah ini :
No Nama asli Suami / Isteri Nama anak pertama Nama cucu pertama Nama semu suami/isteri keterangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12 Ali
Unah
Ali
Unah
Ali
Unah
Ali
Unah
Ali
Unah
Ali
Unah -
-
Seman
Seman
Timah
Timah
Seman (suami) Ijah (isteri)
Seman (suami) Ijah (isteri)
Seman/Ijah
Seman/Ijah
Seman/Ijah -
-
-
-
-
-
-
-
Husin
Husin
Misalkan cucu I perempuan bernama Bumah Aman Mayak
Inen Mayak
Aman Win/Aman Seman
Inen Win/Inen Seman
Aman Ipak/Aman Timah
Inen Ipak/Inen Timah
Empun Mayak
Empun Mayak
Empun Husin/Empun Win
Empun Husin/Empun Win
Empun Bumah/Empun Ipak
Empun Bumah/Empun Ipak Baru kawin belum
punya anak
Anak pertama
Laki-laki/Seman
Anak pertama perempuan bernama Timah
Seman sudah kawin tapi belum punya anak
Cucu pertama bernama Husin
Misalkan cucu I perempuan bernama Bumah

Jika dilihat arti sebenarnya, aman itu asal katanya adalah ama yang di dalam bahasa Gayo, berarti bapak, ni = nya, Aman Minah – amani Minah – bapak si Minah; inen berasal dari kata ine – ibu/mamak, ine ni Husin – ibu (nya) Husin. Empu – nenek; Empun Dulah – nenek/kakeknya Dulah.
Barangkali ada baiknya kita singgung sedikit apa yang diistilahkan oleh antropologi dengan derajat tutur tadi. Kita mulai dengan ego. Bila ditarik garis secara vertikal, terdapat pada garis pertama, yaitu ama/bapak, dan ine/ibu. Adik bapak yang laki-laki dipanggil ujang, dan yang perempuan ibi, isteri ujang, dipanggil Ine Mayak, bila belum punya anak, Ine Win, bila anaknya yang pertama laki-laki, Ine Ipak, bila anak pertamanya perempuan. Suami ibi dipanggil kail, suatu panggilan yang tetap, walau kail ini kelak mempunyai anak atau cucu. Anak ujang dipanggil serinen/win, bila laki-laki, dan dengan bila perempuan. Anak ibi/kail dipanggil impel oleh ego. Abang ayah ego dipanggil uwe, demikian juga isterinya, tetap dipanggil uwe. Untuk membedakannya dipanggil uwe rawan, untuk laki-laki, dan uwe benen untuk yang perempuan. Anak uwe yang laki-laki dipanggil abang, dan yang perempuan dipanggil aka; pada jalur kedua didapati mpawan/kakek Indonesianya, yaitu ayah-ayah ego, dan mpu enen, ibu-ayah ego; Indonesia = nenek. Panggilan untuk saudara kakek ini, sama saja, terkecuali kalau kakek tadi belum kawin, maka ego memanggilnya dengan mpujang/ dari kata mpubujang, bagi yang laki-laki, dan mpuberu, bagi yang perempuan. Pada jalur ketiga panggilannya adalah datu, untuk ayah-ayah-ayah ego. Datu ini juga untuk panggilan yang perempuan, datu rawan, dan datu benen. Di atas datu adalah muyang, muyang rawan dan benen.
Jalur ke bawah terdapatlah keadaan sebagai berikut :
Adik laki-laki/perempuan ego disebut ngi. Suami adik perempuan disebut lakun, anak lakun disebut until, abang ego disebut abang, kakak ego disebut aka, anak ego disebut anak, isteri anak disebut pemen, suami anak disebut kile. Anak pemen dan atau anak kile, disebut kumpu, dan anak kumpu disebut piut.
Pada jalur croos-causin pihak isteri ego terdapat suatu aturan tertentu pula. Isteri ego disebut ton umah, (halusnya dan kasarnya inen). Abang atau adik isteri laki-laki disebut lakun, dan suami adik isteri disebut periben. Orang tua isteri ego disebut mpurah.
Derajat tutur ini begitu memegang peranan penting, dan hamper tidak pernah terjadi tawar menawar. Seorang yang telah besar atau tua sekalipun harus memanggil ujang kepada anak kecil/anak kakeknya.
Bagaimana suami memanggil isteri dan sebaliknya ?
Biasanya suami memanggil kam kepada isterinya atau sebaliknya. Kam ini adalah kata halus dari kata ko/kau. Kam juga dimaksudkan sebagai panggilan anak muda kepada orang tua atau kepada kawan-kawannya yang banyak. Kalau kawan bicaranya hanya satu orang, maka kata kam tidak boleh dipergunakan. Bila disingkatkan adalah sebagai berikut :
Ama = ayah ego,
Ine = ibu ego,
Ujang = adik ayah ego,
Uwe = abang ayah ego,
Ibi = saudara perempuan ayah ego,
Mpawan = ayah ayah ego,
Mpuenen = ibu ayah ego,
Mpujang = saudara ayah, ayah ego, belum kawin,
Mpuberu = saudara perempuan ayah, ayah ego, belum kawin,
Datu = ayah atau ibu mpawan ego,
Muyang = ayah atau ibu datu ego,
Abang = abang ego,
Aka = kakak ego,
Anak = anak ego, baik laki atau perempuan,
Kumpu = cucu ego,
Piut = anak cucu ego,
Ngi = adik ego,
Lakun = ipar ego,
Kile = menantu ego (laki-laki),
Pemen = menantu ego (perempuan),
Ton numah = isteri ego,
Periben = suami saudara isteri ego,
Mpurah = mertua ego,
Kail = suami bibi ego,
Pun = saudara laki-laki ibu ego,
Inepun = isteri pun,
Ama win = ujang yang anak pertamanya lelaki,
Ama ipak = ujang yang anak pertamanya perempuan,
Ine mayak = isteri ujang, belum ada anak,
Aka mayak = isteri abang ego yang belum ada anak,
Abang mayak = abang ego yang baru kawin.

g. Garis Keturunan Orang Gayo Lues (Patrileneal/Kebapakan)
5 6 = Rawan
= Benen
3 4 1 = Amaku
2 = Ineku
1 2 3 = Awanku
4 = Enenku
EGO 5 = Datuku/rawan
Aku 6 = Datuku/benen
Datuku urang kampung Palok, maka :
Awanku urang kampung Palok, maka,
Amaku urang kampung Palok, maka,
Aku urang kampung Palok.
Ineku iango ari kampung Badak, besilo we jadi urang Palok,
Enenku iango ari kampung Penosan, besilo we jadi urang Palok,
Datuku si benen iango ari kampung Padang, besilo we jadi urang Palok.
Jadi menurut edet Gayo Lues, pake umahni, ine, enen, datu benen si berasal ari kampung laen, secara otomatis menjadi urang kampung datuku, dan seterusnya.


3. Persepsi
Persepsi biasanya dimaksudkan juga dengan sudut pandang dari seseorang/individu, atau kelompok masyarakat mengenai suatu hal atau masalah. Bila ada masalah jarang sekali semua orang berpendapat sama, pasti ada perbedaan pandangan. Contoh, saman dua hari dua malam. Ada yang setuju ada yang menentang, tergantung persepsi masing-masing.
Persepsi yang kita ulas hanya berdasarkan tata krama Gayo Lues saja. Seperti saman, roa lo roa ingi di atas. Dari segi adat dapat diterima, misalnya mempererat tali silaturahmi antarsesama anggota masyarakat, antarkampung. Namun anggota masyarakat bukan satu orang. Tiap kepala dapat menafsirkan sendiri-sendiri. Bagi masyarakat miskin sangat memberatkan karena biaya besar. Gara-gara saman, sawah terjual, untuk menutupi hutang, dan sebagainya.pemuda dan pemudi punya persepsi lain lagi. Mereka ingin senang, ingin ada meriah – rerami, soal biaya bukan urusan mereka. Jadi dapat disimpulkan tiap kepala punya persepsi masing-masing.
4. Pandangan Hidup
Pandangan hidup adalah konsep yang dimiliki seseorang atau golongan masyarakat yang bermaksud menanggapi atau menerangkan sesuatu masalah tertentu. Contoh orang Minang menganggap merantau itu suatu hal yang lumrah dan bagus, sedangkan ada sebagian kaum yang tak mau merantau, takut kelaparan, dan lain-lain. Orang Islam misalnya menganggap segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam harus dihindari.
Pandangan hidup ini tidak terlepas dari faktor alam. Ada daerah di Gayo Lues yang sawahnya luas, kebunnya luas, hasil sawah dan hasil kebun cukup untuk menopang hidup. Misalnya Kecamatan Kutapanjang dan Blangkejeren. Hasil sawah cukup, hasil kebun menjanjikan. Akibatnya kurang ada keinginan merantau ke daerah lain, kalau di sanapun hanya bersawah dan berkebun. Sebaliknya ada daerah yang tandus, sawah sempit, kebun tidak begitu luas. Banyak KK yang tidak punya sawah, dan atau tak punya kebun. Hasil sawah dan kebun tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tak cukup untuk isi ruang tengah. Misalnya penduduk Kecamatan Rikit Gaib. Daripada tiap tahun kelaparan, lebih baik lirik kiri, lihat kanan, dimana ada tanah luas, ke sanalah kaki dilangkahkan. Misalnya ke Tanah Alas, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Barat, Aceh Timur dan Tamiang. Mereka merantau sementara dan bahkan tidak sedikit di antara mereka tidak pulang-pulang lagi.
5. Etos Budaya
Koentjaraningrat menyatakan bahwa etos artinya watak khas dari suatu kebudayaan yang tampak dari luar. Contoh etos yaitu gaya, tingkah laku, kegemaran, dan benda-benda budaya yang khas; misalnya kerawang Gayo dan lain-lain.
Etos juga berarti kekhasan suatu bangsa atau daerah. Etos ini punya latar belakang yang jauh ke belakang yang juga tersebar oleh keadaan alam. Dahulu daerah Gayo Lues, termasuk daerah minus. Di setiap kampung, hamper 75% KK yang kekurangan bahan makanan. Di ujung tahun, ada keluarga yang makan hanya sekali satu hari, bahkan pada zaman Jepang, orang tidak lagi makan nasi, tapi jagung atau pisang muda. Pada masa itu yang kaya, dalam arti cukup berasnya dan yang miskin sama-sama menderita. Yang kaya takut makan, sedang waktu makan datang orang miskin “ menyerbu ”, sehingga kadang-kadang makan sembunyi-sembunyi. Demikian juga si miskin, makan ala kadarnya dan juga dalam keadaan takut-takut, kalau-kalau ada orang datang. Walaupun keadaan sudah normal, rasa “ takut ” tidak serta merta hilang. Katakanlah pada saat itu datang tamu yang tak disenangi, makan di rumah kita, kita menghendaki agar dia makan tidak banyak, tidak tambah. Kalau tambah, nasi untuk tuan rumah berkurang, ini bahaya. Sama-sama tahu dirilah. Perasaan trauma pada masa kekurangan dulu terbawa bawa juga sampai sekarang. Coba kita perhatikan waktu kenduri sekarang ini. Jarang sekali orang tambah, kalau tambah, sebenarnya tidak apa-apa, tuan rumah ada yang senang, tetapi kawan kita yang kiri dan yang kanan memberi aba-aba agar jangan banyak kali makan, nanti dicap berloan, rakus, suatu cap yang bisa melekat untuk orang yang banyak makan di kenduri. Kebiasaan ini adalah akibat dari keadaan dahulu, pada masa Jepang. Terbawa-bawa sampai sekarang. Apa boleh buat, kita berhenti makan, seolah-olah sudah kenyang, padahal belum, bahkan di rumah makan lagi, babak kedua.
Di bidang pergaulan, masyarakat Gayo Lues menerima dengan tangan terbuka siapa saja, dari suku mana saja, dari daerah mana saja, sebagai sahabat. Menurut pengalaman syaratnya adalah terutama “ jangan ada dusta di antara kita, dan saling take and give ”, bahasa Gayo, kunul sara duk, ratip sara anguk, beluh betunung, osop beperah, lepas berulo, taring berai. Nti tilok wasni upuh kerung, nti betimang usi, besuket kuah “.
Etos lain kegemaran orang Gayo Lues, selain bersawah, berkebun, berburu, juga memelihara kukur, atau kuda. Etos di bidang budaya kelihatan pada pakaian, upuh kerawang, baju kerawang, bulang teleng, tikon bemata, pedang berkunci, aman remu dan lain-lain.

No comments: