PENUTUP Demikianlah uraian tentang keadaan di Gayo Lues pada masa dahulu dan pembantaian rakyat Gayo Lues oleh Van Daalen.
Sekarang timbul pertanyaan apakah pengorbanan para suhada kita biarkan begitu saja. Dikandung maksud di setiap benteng pertahanan dibuat tugu, agar setiap orang membacanya, mengetahuinya dan barangkali dapat berbangga bahwa NKRI, juga ada sebagian andil rakyat yang tinggal di tujuh benteng Gayo Lues. Bukan sebagai bahan agar kita memusuhi Belanda, sebagai suatu bangsa dan mengganggu turis asing yang berdatangan ke Gayo Lues. Tugu bersegi empat ; lebar dua meter, tinggi empat meter dengan tulisan sebagai berikut ; contoh seperti dibawah ini : PEMDA GAYO LUES Di kampung Penosan ini telah terjadi perang antara pejuang Gayo Lues melawan Belanda di bawah pimpinan Van Daalen Pada tanggal : 11 Mei 1904 Gugur di pihak Pejuang Laki-laki : 191 orang Perempuan, anak-anak : 95 orang Luka-luka Laki-laki : 3 orang Perempuan, anak-anak : 16 orang Di pihak Belanda Tewas : 6 orang Luka-luka : 33 orang Di samping itu sebagai tambahan ilmu bagi kita dan atau anak cucu kita, bahwa dari pembantaian tersebut di muka, masih ada sedikit hal-hal yang perlu kita renungkan, sebagai berikut : 1. Taktik Perang Belanda Taktik perang Belanda, berguru kepada pengalaman di dua benteng terdahulu, yaitu Pasir dan Gemuyang. Van Daalen mengambil suatu pelajaran yang berharga. Peluru para pejuang dengan segala persenjataannya tidak begitu banyak, lebih banyak kepunyaan Belanda. Van Daalen mengetahui hal itu dan juga Van Daalen tahu bahwa para pejuang sangat royal menghambur-hamburkan peluru dan lain-lain. Karena itu Van Daalen berkesimpulan bahwa suatu benteng dapat dikalahkan hanya dengan memancing pejuang dengan tembakan yang gencar, tidak usah ke arah benteng, cukup ke pinggir-pinggir benteng. Mendengar letusan ini pejuang yang belum berpengalaman secara membabi buta menghamburkan peluru dan alat perang lainnya. Tentu dalam tempo satu jam, peluru habis dan benteng bisa dimasuki marsose yang sudah berpengalaman dengan serdadu yang bersenjata duduk saja di atas tanggul, memperhatikan musuh dan menembak dengan tepat sasaran. 2. Izin Pemotretan Medan Perang Sejak di benteng Rikit Gaib, Van Daalen mendapat persetujuan dari Van Heutsz di Kutaraja, bahwa mereka boleh memotret mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam atau di luar benteng. Kita bisa menyaksikan kumpulan mayat-mayat dan di sampingnya berdiri serdadu Belanda dengan gagahnya. Tetapi rupanya, mayat-mayat di benteng Pasir, Gemuyang, Durin dan Badak belum diabadikan oleh Van Daalen karena belum ada izin dari Kutaraja. 3. Belanda Tidak Pandai Berperang Kita telah menguraikan arti daan cara berperang dalam masyarakat Gayo. Ketika Belanda datang ke Gayo Lues, rakyat Gayo Lues menganggap bahwa perang dengan Belanda juga seperti perang model Gayo. Perang tidak boleh di dalam benteng, perempuan, anak-anak dan orang tua yang sudah uzur tidak boleh dibunuh, jumlah peserta harus sama, alat harus seimbang dan lain-lain. Begitulah pada awalnya, ketika Belanda datang ke Gayo Lues dan terjadi pertempuran awal di benteng Pasir. Pada umumnya penduduk benteng Pasir, apakah anak-anak, perempuan dan orang-orang tua yang sudah uzur berkumpul di atas tanggul, di sekitar arena perang untuk menonton perang antara pejuang dan Belanda. Setelah mengetahui perang dengan Belanda lain dari biasa, mereka kemudian masuk ke dalam benteng mempersiapkan diri seperlunya. Mula-mula terjadi perang di luar benteng, kemudian Belanda menembaki rakyat secara membabi buta dan menyerbu ke dalam benteng serta membunuh rakyat yang ada di dalamnya. Sejak saat itu rakyat Gayo Lues menganggap Belanda adalah bangsa yang tidak pandai berperang. Belanda adalah bangsa yang menyalahi perang suci model Gayo, yang membunuh perempuan, anak-anak, dan orang tua yang sudah uzur. Sejak saat itu kalau terjadi perang dengan Belanda, rakyat Gayo Lues selalu bertahan di dalam benteng dan menunggu Belanda agar masuk ke dalam benteng. 4. Penyebab Kekejaman Van Daalen Kekejaman Belanda di Gayo Lues dan Tanah Alas sungguh luar biasa, lain dari kekejaman mereka di daerah lain. Bila diteliti ada beberapa faktor penyebab antara lain, sebagai berikut : a. Gubernur Sipil dan Militer Aceh, secara rutin setiap tahun mengeluarkan bulletin, kumpulan kegiatan setiap bulan selama 12 bulan. Dari sekian bulletin yang terbaca, adalah Buletin tahun 1907 yang paling penting untuk diulas. Rupanya Pucuk Pimpinan Militer di Aceh menghendaki agar sebelum bulan Agustus tahun 1904 seluruh daerah Aceh dapat ditaklukkan. Seperti diketahui sampai akhir 1903 daerah yang belum takluk kepada Belanda di daerah Aceh tinggal Gayo Lues dan Tanah Alas. Kehendak ini disampaikan ke Batavia, kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Gubernur Jenderal pun bersetuju dengan batas waktu sebelum Agustus 1904, dengan maksud agar kabar gembira ini dipersembahkan kepada Ratu Belanda, sebagai kado, suatu keberhasilan Belanda mengalahkan Aceh, bangsa yang sangat perkasa melawan Belanda di seluruh Hindia Belanda. Van Heutsz dan pimpinan Militer Belanda di Kutaraja sangat gembira menyambut persetujuan Gubernur Jenderal ini. Gubernur Jenderal sendiri, di satu pihak dan Gubernur Sipil Militer Aceh dan Van Daalen di pihak lain membuat suatu MoU, pemufakatan, kalau Aceh dapat ditaklukkan sebelum Agustus 1904, maka Gubernur Jenderal dipromosikan menjadi Menteri Jajahan, Van Heutsz diusulkan promosi ke Batavia sebagai Gubernur Jenderal dan Van Daalen diusulkan promosi menjadi Gubernur Sipil Militer Aceh, dan sebaliknya jika gagal, maka Van Heutsz dan Van Daalen harus masuk kotak, pulang kampung. Cita-cita ketiga anak manusia ini tercapai pada bulan Juli 1904 kedua daerah Gayo Lues dan Tanah Alas takluk, berarti seluruh Aceh telah takluk. Pada bulan Agustus 1904 Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyerahkan kado ini kepada Ratu Belanda pada perayaan Ulang Tahun ratu yang diperingati setiap bulan Agustus. Tidak berapa lama kemudian Gubernur Jenderal diangkat menjadi Menteri Jajahan. Van Heutsz diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia dan Van Daalen diangkat menjadi Gubernur Sipil Militer Aceh di Kutaraja. Pucuk dicinta ulam tiba kata mereka. b. Untuk mewujudkan cita-cita Gubernur Jenderal dan Gubernur Sipil Militer tersebut diatas Van Heutsz selaku Gubernur Sipil Militer Aceh, secara selektif harus memiliki perwira Belanda yang akan menjalani tugas yang maha penting tersebut, sebab kalau gagal, jabatan dan harga diri taruhannya. Setelah dipertimbangkan dengan secara seksama, dari sekian perwira yang berdedikasi tinggi akhirnya pilihan jatuh ke tangan Van Daalen. Kepada Van Daalen diberi tugas untuk menaklukkan Gayo Lues dan Tanah Alas sebelum bulan Agustus 1904, dan kalau gagal pangkat akan diturunkan dan dipulangkan/pindah. Van Daalen menyanggupi syarat ini. Kalau sudah demikian, pertimbangan akal sehat hilang dan pelanggaran HAM akan dikesampingkan. c. Perjalanan pasukan Van Daalen melalui hutan belantara sangat-sangat menguras tenaga, pikiran dan pertimbangan kemanusiaan. Tugas mereka mengalahkan Gayo Lues dan Tanah Alas harus tercapai, karena itu di dalam prakteknya nanti segala penderitaan di perjalanan ini akan dilampiaskan kepada musuh yang dihadapi kelak. Tujuan ini menghalalkan segala cara. d. Pada tanggal 27 September 1901, berangkatlah pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Van Daalen dari Aceh Utara dengan tujuan Gayo Lues. Sesampai di Takengon Van Daalen mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat yang sudah menyerah kepada Belanda. Van Daalen mengorek informasi dari tokoh-tokoh ini tentang Gayo Lues, mengenai jumlah penduduknya, jumlah kampung, kampung yang besar, kampung yang kecil, benteng pertahanan, jalan menuju ke sana dan sebagainya. Didapat informasi bahwa jalan ke Gayo Lues yang biasa dilalui adalah dari arah Takengon – Isaq – Waq – Lumut – Ise-Ise – Tembolon, lalu melewati Bukit Barisan menuju Gayo Lues. Tidak ada jalan lain, terkecuali lewat hutan belantara dari arah Jagong – Perok – Terangun. Jalan yang disebut terakhir ini sangat sukar dan jarang dilalui oleh manusia. Mendapat informasi ini lalu Van Daalen memerintahkan Kapten Colijn dibantu oleh Letnan G. J. H Van Steyn Van Hensbroek menerobos Gayo Lues. Rupanya tokoh masyarakat Takengon membocorkan rahasia ini dan secepat kilat memerintahkan utusan ke Gayo Lues supaya menunggu pasukan Belanda di Burni Tembolon, Burni Intim-Intim, dan Rerorohan. Kapten Colijn melangkahkan kaki menuju Gayo Lues, dengan pasukan besar dan bersenjata lengkap. Perjalanan dari Takengon sampai ke Ise-Ise boleh dikatakan aman-aman saja, tidak ada perlawanan yang berarti dari rakyat setempat, namun ketika memasuki daerah Tembolon, pasukan Colijn telah disambut dengan tembakan pejuang. Colijn tak gentar dan maju terus. Di tengah perjalanan menuju puncak gunung pasukan Colijn disambut dengan senjata pejuang yang tak disangka-sangka Colijn yaitu batu-batu besar, batang kayu besar, bergemuruh dari atas gunung. Pasukan Colijn yang kalang kabut, lalu diserbu pejuang. Terjadi perang tanding, pedang lawan pedang. Bedil, sudah hampir tidak dapat digunakan. Letnan Hensbroek dan 8 opsir beserta 45 serdadu mati. Colijn kembali ke Takengon melapor kepada Van Daalen. Van Daalen murka bukan kepalang dan menuding Kapten Colijn goblok dan pengecut, dan memerintahkan pasukan kembali ke Kutaraja melalui Beutong Aceh Barat. Kekalahan Van Daalen ini tersiar luas di Kutaraja. Pucuk pimpinan militer Belanda di Kutaraja sangat murka dan malu, dan selama ini musuh-musuh Van Daalen sesama perwira semakin bergembira dan mengejek Van Daalen. Van Daalen semakin mengurung diri, malu menampakkan diri sebab asal kelihatan pasti diejek secara terang-terangan oleh sesama perwira. “ADA KAWAN KITA, PANGKAT TINGGI, BADAN BESAR, WAJAH LUMAYAN GANTENG, PENAMPILAN MEMUKAU, SALAHNYA KALAH SAMA ORANG UTAN” ”APA GUNA WAJAH GANTENG, PANGKAT TINGGI, GAJI BESAR, KEDUDUKAN MENGGIURKAN, TAPI SALAHNYA PENGECUT” Dan ketika diadakan jamuan makan akhir bulan di kantin khusus perwira, pernah ada spanduk terpasang di pintu dengan bunyi “PERWIRA YANG DIKALAHKAN OLEH ORANG UTAN DILARANG MASUK” Bukan main sakit hati Van Daalen dan karena itu berkali-kali dia minta agar dia ditugaskan lagi mengalahkan Gayo Lues. Akhirnya luluh juga hati Van Heutsz selaku pucuk pimpinan militer di Aceh untuk mengabulkan permohonan Van Daalen ini. Dalam keadaan hati panas inilah Van Daalen berangkat ke Gayo Lues (catatan tersebut di atas dibuat oleh Kapten H. Colijn yang ditulis dalam bulletin akhir tahun 1902, dengan judul JEJAK LANGKAH TUAN BESAR (Van Daalen)) Dari uraian diatas kita baru faham, mengapa begitu gencarnya serangan, kritikan, caci maki terhadap Van Daalen, terhadap Van Heutsz, terhadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang dilancarkan oleh pers, oleh Parlemen Belanda, oleh dunia luar, namun ketiga orang ini seperti tidak tergoyahkan sama sekali. Mengapa usulan, resolusi dan sebangsanya yang ditujukan kepada Van Heutsz agar memecat Van Daalen tidak dihiraukan sama sekali, mengapa usulan yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal agar memecat Van Heutsz dianggap angin lalu. Rupanya mereka setali tiga uang, sudah bersekongkol, sudah ada MoU di antara ketiganya. Benar sejak usulan, resolusi, caci maki terhadap mereka, mereka anggap anjing menggonggong kafilah berlalu. Kita mau bilang apa lagi. Ini kenyataan, yang penting kita sudah faham. 5. Inen Mayak Tri Pada penghujung perang Belanda di Aceh, tahun 1890 an, Aceh bagian utara dan timur semakin bergejolak dengan seru. Di satu pihak, Belanda, semakin menambah kekuatannya di daerah ini, dalam usaha mengejar srikandi, yang terkenal Cut Meutia yang sangat merepotkan di bagian utara Aceh, dan T. Tapa yang selalu melakukan serangan di daerah bagian timur Aceh terutama di Idi dan Peureula. Dari kedua musuh utama Belanda yang paling merepotkan adalah pasukan T. Tapa. Pasukan T. Tapa menyerang terutama pada malam hari, dan puncaknya pernah dapat merebut kota Idi dari Belanda. Taktik yang mereka gunakan adalah serang pos-pos Belanda pada malam hari, kemudian menghilang. Akhirnya, Belanda berkesimpulan, T. Tapa ini harus dikejar ke pedalaman, ke daerah Kejurun Abuk sekitarnya, jangan hanya menunggu saja. Untuk itu dari arah Perlak/Peureula, menuju Lukup, dan sekitarnya, Belanda, harus mengaktifkan operasi dan dari arah timur, Tamiang, pasukan Kuala Simpang harus secara rutin naik ke arah Serbajadi dan sekitarnya. Dimaksudkan agar T. Tapa dapat ditekan, sehingga Belanda, tidak diganggu lagi. Ternyata taktik Belanda ini berhasil. Pasukan T. Tapa semakin hari semakin menyusut, ditambah lagi banyak rakyat yang terpengaruh bujuk rayu Belanda untuk membenci pasukan T. Tapa. Oh ….. Sayang. Cerita kita agak surut ke belakang. Pada umumnya pasukan T. Tapa adalah orang Gayo, yang berasal dari Gayo Laut, Gayo Lues, Gayo Serbajadi dan Gayo Kalul, Tamiang. Seperti kita ketahui penduduk Gayo yang berasal dari daerah di atas tidak begitu banyak, dan daerahnya juga termasuk daerah miskin di Aceh. Ini kita jelaskan, untuk mengetahui bahwa perang itu memerlukan biaya besar, waktu lama, dan keuangan dari rakyat, serta biaya dari pusat/Sultan Aceh hampir tidak bisa diharapkan. Boleh dikatakan T. Tapa berjuang dengan biaya dari rakyat Serbajadi saja. Rakyat miskin, berusaha hampir tidak mungkin, ditambah lagi tekanan dari Belanda, dan atau agen-agennya, sehingga sumbangan untuk perang semakin lama semakin mengecil. Ini salah satu faktor bubarnya pasukan T. Tapa. Sedang jaya-jayanya T. Tapa, pasukannya hampir keseluruhan direkrut dari pemuda-pemuda kampung. Pemuda kampung dari Serbajadi sekitarnya, demikian juga dari daerah-daerah yang kita sebutkan di atas terlebih dahulu diindoktrinasi dengan umpan bahwa melawan Belanda itu wajib, itu musuh agama kita dan kalau kita mati, adalah mati sahid, langsung masuk surga. Dengan demikian, berduyun duyunlah pemuda mendaftar masuk pejuang. Tidak terkecuali dari daerah Pining. Salah seorang di antaranya adalah seorang pemuda yang baru saja kawin dengan seorang gadis Tripah, di Gayo disingkat saja dengan panggilan Tri. Gadis yang baru kawin di daerah Gayo, di panggil INEN MAYAK. Gelar inen mayak ini melekat sampai anaknya lahir. Inen mayak hilang dengan sendirinya setelah anaknya lahir. Kalau anaknya laki-laki, gelar kerennya adalah inen win, dan kalau anaknya perempuan, gelarnya menjadi inen ipak. Suami Tripah dipanggil aman mayak, dan kalau anak mereka lahir laki-laki gelarnya bukan lagi aman mayak, tapi aman win, dan kalau lahir perempuan gelarnya aman ipak. Begitulah pada masa itu sebelum tahun 1898, ada semacam mobilisasi masuk pejuang bagi pemuda-pemuda di daerah Pining sekitarnya, demikian juga di daerah Serbajadi. Di satu pihak, pemuda bersenang hati masuk pejuang, dan orang tua mereka merasa bangga anaknya dapat berperang melawan Belanda, di front Aceh Pesisir. Salah seorang wajib militer tadi adalah Aman Mayak, suami Inen Mayak Tri. Dia bergabung dengan regu Pining dan latihan awal diadakan di tepi hutan di Pining, kemudian, baru dilanjutkan dengan latihan perang di sekitar Serbajadi dan terakhir di daerah Perlak. Latihan di Perlak dan Idi ini boleh dikatakan latihan sesungguhnya, karena langsung diterjunkan ke medan perang. Wajib militer ini tidak ditentukan batas waktunya. Bagi yang sudah berkeluarga, setiap 6 bulan diberi cuti pulang kampung, itupun bila situasi memungkinkan, sedangkan bagi yang belum kawin urusan pulang kampung sangat dipersulit. Pada umumnya batasan tadi sudah diberitahu kepada orang tua, atau isteri, atau famili di kampung sebelum berangkat ke front. Demikianlah, setelah 6 bulan pertama berlalu, Inen Mayak Tri berharap sangat suaminya pulang sebentar, namun tidak juga. Mendekati waktu 12 bulan, Inen Mayak Tri mulai was-was, jangan-jangan …………Kabar tidak ada, kawan yang pulang belum ada, mau ditanya kepada orang tua, atau mertua malu. Dapat dibayangkan perasaan orang yang baru kawin, ditinggal berlama-lama. Aduh ……. Tuhan Maha Kaya, Maha segala Maha, rupanya ada juga kawan suami Inen Mayak Tri yang pulang dari front menjenguk orang tuanya yang meninggal. Pucuk dicinta ulam tiba, kepada orang yang baru pulang ini ditanyakan perihal suami yang tercinta. Semula memang agak dirahasiakan. Tetapi apa boleh buat, cerita yang sebenarnya harus disampaikan. Kepada Inen Mayak Tri diceritakan yang sebenarnya bahwa suaminya telah gugur di medan perang Idi. Aceh bagian Timur. Mayatnya dikubur secara baik-baik di dalam hutan di sekitar Idi itu juga. Mendengar kabar ini hati Inen Mayak Tri hancur. Berhari-hari makan tidak selera, mata sukar dipejamkan, dan orang menduga Inen Mayak Tri akan mengakhiri hidupnya. Sukar diajak bicara, bertukar pikiran. Secara tidak kentara gerak-geriknya diperhatikan, jangan-jangan dia kehilangan akal sehat. Kemanapun dia pergi diikuti, atau paling tidak selalu diawasi. Pada suatu malam, setelah acara tahlilan/kenduri suami Inen Mayak Tri, Inen Mayak Tri memberanikan diri bersimpuh di hadapan ibunya, untuk menyampaikan isi hatinya. Inen Mayak Tri meminta agar ibunya menyampaikan keinginannya untuk berangkat ke medan perang di Aceh bagian pesisir yaitu Perlak dan Idi. Kepada kedua orang tuanya, ayah dan mertua, ibunya bersedia, dan setelah selesai kenduri ibunya meminta agar hadirin jangan dulu bubar, karena ada hal penting yang akan disampaikan. Seperti diketahui menurut adat Gayo, seorang menantu sangat tabu berbicara langsung dengan mertua dan sangat dihindari berbicara dengan ayah sendiri. Kalau berusaha harus menyampaikan sesuatu yang penting maka harus memakai perantara orang ketiga, dalam hal ini ibu sendiri. Ibu Inen Mayak Tri menyampaikan isi hati anaknya Inen Mayak Tri kepada hadirin, sebagai berikut : Ineni Inen Mayak Tri : Ume, kam bewene jema-jema tue si ku regei, aku ara amanah ari anakte ini, Inen Mayak Tri. We niro aku nyawahan amanah ini ku kite bewente. Geh kene we niro izin ari kite bewente, we male beluh ku medan perang nyabung nyawa urum Belene ku lahso. We male nuntut beles atas kematenni aman mayak’e kune pertimbangan ume, den jema-jema tue si arani. Amani Inen Mayak Tri : Etek (maksud’e Inen Mayak Tri), cube ko berpikir jeroh-jeroh, meh-mehni pikiren. Nti tunung porakni ate. Gere ara jema benen beluh beperang, si beperang jema rawan pelin we. Mpurahni Inen Mayak Tri : Betul cerakni umea. Kami ngulen nrasan uesni atemu besiloni, betapeh die cube ipikiriko, nti kahe ken penyesalan. Inen Mayak Tri : Maaf ama-ama, ine-ine, aku nge meh pikir, segerni ku harap gere sengkerat, tawakal gere semelah, I izin ni ama-ama we aku beluh ku lahso. Mpurahni Inen Mayak Tri : Besilo begini, anakku, kami jema tuemu, gere nosah izin ko beluh ku Idi-Perlak. Ingeti komi, Belene pasti geh ku negeri teni iwasni pepi en tahun ini. Kami nosah izin ku ko beperang urum Belene i negeri te ini. Besilo belatih perang enye ko, kati ike nge sawah masae, ko nge biese namat luju. Inen Mayak Tri : Bohmi ama, besilo aku male belejer beperang. Terjemahan : Ibu Inen Mayak Tri : Besan, dan orang-orang tua yang saya hormati, aku mendapat amanah dari anak kita ini Inen Mayak Tri. Dia minta agar aku menyampaikan amanah ini kepada kita semuanya. Katanya dia minta izin, dia mau pergi ke medan perang menyabung nyawa dengan Belanda. Dia mau menuntut balas atas kematian suaminya. Bagaimana pertimbangan kita semua. Bapak Inen Mayak Tri : Anakku, coba kau berpikir tenang-tenang, jangan diikutkan panasnya hati. Belum ada orang perempuan ikut perang di daerah kita ini. Mertua Inen Mayak Tri : Pendapat besan tadi betul. Kami dapat merasakan apa yang kau rasakan. Begitupun piker lagi agar jangan terjadi penyesalan di kemudian hari. Inen Mayak Tri : Maaf, bapak-bapak, ibu-ibu aku sudah habis pikir. Sekali ini aku minta dengan sangat agar permohonan ini dikabulkan hendaknya. Mertua Inen Mayak Tri : Sekarang begini anakku, kami tidak mengizinkan kamu pergi berperang ke Idi-Perlak. Belanda pasti datang ke daerah kita ini. Kami memberi izin kepada kamu untuk berperang kepada kamu asal di negeri kita ini. Berlatih perang terus sampai nanti kau terbiasa memegang senjata. Inen Mayak Tri : Terima kasih bapak dan ibu, izinkan aku berlatih perang. Begitu mendapat izin dari orang tua dan mertuanya, mulailah Inen Mayak Tri berlatih memegang senjata, rudus, aman remu, dan lopah tejem. Latihan Inen Mayak Tri kabarnya banyak ditonton wanita. Mereka merasa Inen Mayak Tri sudah gila, perempuan latihan perang, untuk apa. Dari nenek moyang dulu tak pernah perempuan ikut perang. Inen Mayak Tri tidak ambil pusing, tekad sudah bulat. “Esa hilang, dua terbilang, lebih baik berputih tulang daripada berputih mata” Alhamdulillah, cita-cita kesampaian juga, musuh diharapkan datang, Belanda tiba (menurut catatan Belanda mereka datang ke sekitar Pining, pada tahun 1898, catatan ini sementara kita anggap akurat, karena kita tak punya data untuk itu). Inen Mayak Tri bergembira bukan kepalang, ketika mengetahui Belanda akan datang ke arah sekitar Pining, di bawah pimpinan Kapten Collijn. Inen Mayak Tri mulai dapat tersenyum, senyum gembira yang sudah setahun hilang dari bibirnya. Kedatangan Belanda ini adalah untuk mengejar T. Tapa. Mendengar kabar ini pasukan Pining di bawah pimpinan Datok Pining Tue, menyongsong ke daerah Tingkem. Di daerah ini mereka bertemu dan mulai menyabung nyawa. Inen Mayak Tri betul kehilangan control, mengamuk luar biasa dan berhasil menebas beberapa serdadu Belanda. Tengah malam pertempuran berhenti, Collijn kembali ke arah Lukup, dan pasukan Datok Pining Tue beserta rombongan kembali ke Pining. Sepak terjang Inen Mayak Tri ini diakui baik oleh kawan maupun oleh lawan. Pihak lawan selalu berusaha mencari Inen Mayak Tri dengan cara mengirim mata-mata untuk membunuhnya, dan sebaliknya para pejuang selalu melindunginya dan GTM (Gerakan Tutup Mulut) bila ditanya oleh siapapun. Enam tahun kemudian Belanda datang lagi, tepatnya 12 Februari 1904. rombongan Belanda ini bernama Kolonne Kuala Simpang di bawah pimpinan seorang Kapten yang bernama C. LECHLEINER, bergerak ke arah Pining untuk mengganggu pejuang Pining, agar pejuang Pining meminta bantuan ke Gayo Lues, dengan harapan Gayo Lues kosong, dan Van Daalen mudah menaklukkannya. Kedatangan Belanda tercium oleh pejuang Pining dan mereka menyongsong lagi ke daerah Tingkem, mengingat situasi Tingkem sangat menguntungkan pejuang. Begitu Belanda dekat, pasukan Pining yang di pimpin oleh Datok Pining Tue, dan Inen Mayak Tri bergerak dengan cepat ke arah pasukan Belanda. Bedil sudah sukar digunakan, pedanglah yang berbicara. Inen Mayak Tri nekat luar biasa, tidak memilih lawan, siapa yang berjumpa sikat. Dari sore pertempuran sampai malam, dan hasilnya komandan mereka Kapten C. LECHLEINER luka parah, dan dapat diselamatkan pasukannya dan malam itu juga kembali ke Kuala Simpang. Kabar yang beredar dipihak pejuang, bahwa lawan kapten ini adalah Inen Mayak Tri. Inen Mayak Tri lah yang menebas kedua tangan kapten ini sampai hampir putus dan Inen Mayak Tri pun sempat luka-luka. Pasukan Inen Mayak Tri ada yang pulang ke Pining dan ada juga yang masuk ke hutan, di hutan luka-luka Inen Mayak Tri diobati dan kabar akhirnya dia gugur secara baik-baik, beberapa tahun kemudian. Namun di mana kuburnya tidak diketahui, tetapi pejuang dari Pining pasti tahu, dan Inen Mayak Tri sudah bisa tersenyum, dendam terhadap pembunuh suami tercinta sudah ditebus. Ya Allah ya Tuhanku tempatkanlah Inen Mayak Tri disisiMu. Amin. 6. Dimus Srikandi Berjiwa Singa Belanda pada dasarnya berkehendak agar pejuang Gayo yang berada di setiap benteng dapat dan mau menyerah secara baik-baik, untuk menghindari jatuhnya korban. Untuk mencapai tujuan ini dipakai tangan orang ketiga, baik kejurun, pemuka agama, reje yang sudah menyerah dan lain-lain. Juga taktik menakuti pejuang yang belum menyerah dengan memberi contoh-contoh tindakan Belanda atas benteng pejuang yang telah kalah. Setelah benteng Penosan jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 11 Mei 1904, Van Daalen mengirim surat kepada pejuang Tampeng, agar menyerah. Surat ini diantar oleh kurir yang pandai tulis baca, dan ahli dalam diplomasi. Kurir meminta agar pejuang Tampeng menyerah saja. Kurir : “Kati nti naeh deletu jema mate, harta hancur, kampung hancur, kune perahanme ike kite bersebet padih urum pake si gehni. Ku rasa dele manfaat’e ari mudarat’e. Engonkam Pasir, hancur, Gemunyang si kuet royo, Durin, lumet, Badak nlangak, Rikit Gaib meh, Penosan hangus. Nti kase kampung te nipeh lebih ari oya. Sayang rakyatte”. Pejuang : “Seber kam, osah ku kami waktu, wasni 2 atau 3 lo ni kami osah keber ku kam. Geh mien kam kini, kati betih hasil’e kase”. Kurir : “Jeroh-jeroh, wasni 3 lo ni kami geh mien”. Terjemahan : Kurir : “Agar supaya jangan lagi banyak jatuh korban, harta hancur, kampung hancur, bagaimana perasaan bapak-bapak kalau kita bersahabat saja dengan pendatang ini. Saya pikir lebih banyak mudaratnya. Coba bapak lihat Pasir hancur, Gemuyang kalah, Durin kalah, Badak kalah, Rikit Gaib kalah, Penosan kalah. Jangan nanti kampung kita inipun lebih hancur lagi. Sayang rakyat”. Pejuang : “Sabar bapak, kasih kesempatan kepada kami dalam 2 a 3 hari ini baru kami beri kabar. Datang lagi bapak kemari supaya tahu bagaimana hasilnya”. Kurir : “Baiklah kalau begitu dalam 2 a 3 hari ini kami datang”. Pada malam harinya, pejuang benteng Tampeng, mengadakan rapat di atas mersah Tampeng di bawah pimpinan Reje Cik Tampeng, dihadiri oleh para panglime, antara lain yang dari luar kampung Aman Linting, Aman Jata, Abdussamad Kejurun Bambel, Tanah Alas dan Kurir Belanda sendiri. Acara rapat yang utama adalah membahas ultimatum Van Daalen. Dalam pembahasan ini forum terbagi dua, ada yang berkeras perang dan lebih banyak berdamai dengan Belanda. Tidak ada titik temu, masing-masing mempertahankan argumennya. Bukan lagi rapat, tapi sudah mengarah ke pertengkaran, pecah kongsi, dan hampir saja pedang ikut berbicara. Suasana di atas mersah panas, sedangkan suasana di bawah mersah yang dihuni oleh perempuan dan anak-anak mencekam. Mereka, kaum ibu, memperhatikan, pembicaraan kaum bapak, secara cermat dan sebagian dari ibu yang berjiwa panglima sangat menyesalkan pertengkaran kaum bapak yang dianggap menghabiskan tenaga saja. Pada saat itulah ada seorang ibu yang bernama Dimus bernyanyi, bersendung, untuk mengajak anaknya agar cepat tidur. Dalam senandung beliau berharap agar anaknya cepat tidur, dan mengharap kepada anaknya agar mengizinkan ibunya bersabung dengan Belanda, dan kalau anaknya ingin “nyusu” mintalah kepada ayahnya si pengecut, kalau kelak ibunya gugur. Senandung Dimus kira-kira demikian : - La ilah haillallaa, Muhammadur Rasul Allah, - Anakku mutuah, anakku sibebahagie - Nti naeh mongot berkolak awah - Inemu male betengkah urum Belene - Ateni amanu nge dabuh gunah - Nge nerah langkah nsangka ku uten rime - Kedelen’e jema rawan nge nyarungni lopah - Gere naeh ara ken panglime - Ike inemu mate, ko gere dalih mongot bersebuku - Ike ko nlape ku amamu ko niro susu - ike ko kul, ko torah nuntut ilmu - Kati nguk mbelaku, nti ngeson lagu amamu - Anakku nomeni renye nome, aku male nremes luju - Luju ken alatku anakku urum Belene bejalu - Aku gere terih aku gere takut anakku - Ume garang pelulut ini inemu - Oi jema rawan urang Tampeng - Ke ngon kam gotol-gotol gere rengkeng - Belene male geh nguk kam terih - Reje Alas nge geh mbantu kite kunulle gere tak lah tapi tak iwih - Ooooi………….. hu………..hu……….hu……….hu Terjemahan : - La ilah haillallaa, Muhammadur Rasul Allah, - Anakku bertuah, anakku yang berbahagia - Jangan lagi kau kuat-kuat menangis - Ibumu mau bersabung dengan Belanda - Hati bapakmu sudah gundah - Sudah mencari langkah, lari ke hutan rimba - Kebanyakan orang laki sudah menyarung pisau - Tak ada lagi berjiwa panglima - Kalau ibumu sahid, jangan engkau bersedu sedan - Kalau kau lapar, minta susu kepada bapakmu - Kalau kau sudah besar, tuntutlah ilmu - Biar dapat kau membantu ibu, jangan penakut seperti bapakmu - Tidurlah tidur anakku, ibumu mau mengasah pedang - Untuk alatku berlaga dengan Belanda - Ibu tak gentar, tak takut anakku - Bukan bapak penakut ini ibumu - Oi pahlawan Tampeng - Kulihat kalian gemuk-gemuk, tidak kurus - Belanda datang, kok kalian takut - Raja Alas datang membantu kita - Ooooi………….. hu………..hu……….hu……….hu Rupanya jangin Dimus ini didengar oleh pejuang di atas mersah, mereka terdiam seluruhnya. Ketika itulah Dimus naik ke mersah memarahi para pejuang. “Ooooiii ………he he he para panglime si gagah berani, Belene geh, kam takut, garang pelulut, jegekam anakni kami, osan luju mea ku kami jema benen, kati engonkam kami bersabung urum ‘kafir’ Belene. Kam gere kemel ken Reje Alas si geh mbantu kite. Besilo peri singket, sahan si mera dame urum Belene, turun ari mersah ini, taring i atasni alat me, dan si milih perang, taring i mersah ini”. Terjemahan : “Ooooiii ………para panglima yang gagah berani. Belanda datang kalian takut, garang pelulut jaga anak kami ini, berikan alat kalian kepada kami kaum perempuan, supaya kalian lihat kami bersabung dengan Belanda. Kalian tak malu kepada Raja Alas yang jauh-jauh datang membantu kita. Siapa yang mau damai dengan Belanda turun dari mersah ini letakkan senjata dan yang memilih perang tinggal diatas mersah ini” Mendengar “pidato” Dimus ini, serentak seluruh peserta rapat mengucap. “Allahu Akbar, perang, Allahu Akbar, perang” Sambil berpelukan dan menangis satu dengan yang lain pilihan telah bulat ……………. Perang. KISAH Inen Mayak Tri dan Dimus srikandi berjiwa singa ditulis oleh Kapten HERMAN AGERBEEK, komandan Divisi I marsose Blangkejeren. Herman Agerbeek adalah seorang penulis yang sangat kreatif, bahkan Zentgraaff penulis buku ATJEH berani mengatakan bahwa karya Agerbeek melebihi karya penulis besar C S H. Cerita ini terdapat pada catatan MEMORI AKHIR JABATAN tahun 1928 yang tersimpan rapi di PDIA Banda Aceh. Tulisan tersebut disesuaikan dengan sudut pandang Indonesia oleh penulis.
No comments:
Post a Comment