KEDATANGAN BELANDA KE GAYO LUES DAN EKSEKUSI
VAN DAALEN DI TUJUH BENTENG PERTAHANAN
1. Situasi politik dan militer di Gayo sebelum kedatangan Van Daalen
Situasi politik dan militer di Gayo sebelum kedatangan Van Daalen 1904 memang sangat menguntungkan pihak Belanda dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Kerjasama antara Van Heutsz sebagai Gubernur Militer Aceh dan SHG sebagai penasehat erat sekali sehingga politik, taktik, dan strategi militer untuk menghancurkan Gayo Alas dapat dilaksanakan dengan tidak banyak mendapat rintangan baik dari Batavia maupun Den Haag.
b. Kota dan atau kampung-kampung dan benteng-benteng terpenting rakyat Aceh di pesisir Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat dan Aceh Selatan sebagian besar telah dikuasai oleh Belanda. Dengan demikian hubungan Gayo Alas dan pesisir terputus.
c. Sultan Aceh Twk. M. Daud Syah telah ditawan pada tahun 1903.
d. Para panglima yang terkenal ada yang telah gugur antara lain T. Umar tanggal 10 Februari 1890 di Meulaboh, Tgk. Cik Di Tiro gugur tahun 1891, Panglima Polem telah ditawan pada tanggal 6 September 1903 di Aceh Utara.
e. Panglima T. Tapa yang pernah mengalahkan Belanda di Idi Aceh Timur telah gugur tahun 1900 di Pase Aceh Utara.
f. Banyak panglima Gayo yang telah gugur di medan juang di pesisir Aceh sehingga yang tinggal di Gayo Lues kebanyakan orang-orang tua, pemuda-pemuda tanggung, kaum wanita dan anak-anak.
g. Peperangan antarkampung tidak pernah berhenti di Gayo Lues.
Dalam keadaan pasukan yang cukup lelah dan telah jauh berkurang itu, tiba-tiba Van Daalen dengan pasukan marsosenya melancarkan serangan umum ke Tanah Gayo dan Alas.
Dengan demikian maka daerah Gayo dan Alas pada saat serangan Van Daalen ini sudah dalam keadaan terkurung dan terkepung sama sekali.
Rakyat dan pejuang-pejuang Gayo dan Alas tidak mungkin lagi mengadakan hubungan dengan Pusat Pemerintahan Kerajaan Aceh di Kutaraja atau Keumala, tidak mungkin lagi mendapatkan bala bantuan pasukan dari induk pasukan kekuatan Kerajaan Aceh, tidak mungkin lagi berhubungan dengan panglima dan tokoh perang Aceh yang ternama, dan tidak mungkin lagi mendapatkan senjata dan bahan-bahan perlengkapan perang dari daerah aceh pesisir dan dari daerah-daerah lainnya.
Karena itu rakyat Gayo dan Alas harus berperang sendiri, dengan kekuatan sendiri pula. Mereka harus bertempur dengan kekuatan pasukan-pasukan yang sudah dalam keadaan lelah. Mereka harus berperang dengan persenjataan yang masih serba kuno melawan marsose yang bersenjata lengkap dan modern.
Pasukan marsose atau marechaussee adalah pasukan yang sengaja dipilih oleh Jenderal Van Heutsz untuk menyerang Tanah Gayo dan Alas, suatu pasukan kontra gerilya, suatu pasukan penggempur yang telah dilatih cukup dengan disiplin keras, kasar dan kejam. Dalam perjuangannya ke Tanah Gayo dan Alas Van Daalen yang memimpin pasukan marsose ini dibantu pula oleh pasukan infantry dari Kuala Simpang yang bergerak dari Kuala Simpang melalui Pining ke tanah Gayo.
Tetapi walaupun keadaan Tanah Gayo dan Alas dalam keadaan terkurung dan terkepung sama sekali, ternyata dalam menghadaoi serangan Belanda ini, mereka telah bertempur dengan gagah berani. Mereka telah bertempur dan melancarkan perang suci, perang sabil baik kaum pria, wanita bahkan anak-anak remaja untuk melawan serbuan kaum kafir yang datang menyerang untuk menjajah kampung halamannya. (¹)
2. Latar Belakang Pengiriman Ekspedisi dan Persiapannya
Setelah Sultan Daud Syah turun pada tanggal 10 Januari 1903, maka Van Heutsz telah bertekad untuk menaklukkan seluruh Aceh. adapun daerah yang belum ditaklukan adalah daerah pedalaman, yaitu Gayo dan Tanah Alas. Untuk tugas penaklukan tersebut, pilihan Van Heutsz jatuh pada Letnan Kolonel G.C.E Van Daalen, untuk memimpin suatu ekspedisi ke daerah tersebut diatas.
Adapun tujuan ekspedisi adalah untuk menguasai daerah pedalaman, sehingga tidak memungkinkan lagi untuk memberikan tenaga dan biaya untuk daerah pesisir dan mengibarkan si tiga warna di seluruh pelosok Aceh. Serta untuk menguasai daerah Gayo dan Alas, dan menyelidiki keadaan alam serta penduduk setempat, dan untuk mencegah agar daerah tersebut jangan dijadikan persembunyian pemimpin-pemimpin perlawanan.
Ekspedisi ini adalah tugas yang berat, karena Belanda belum mengetahui keadaan alam, penduduk dan budaya orang pedalaman tersebut secara pasti, terkecuali sedikit bahan dari Dr. Snouck Hurgronje yang mengarang buku Daerah Gayo dan Penduduknya, pada tahun itu juga. Atas pertimbangan di atas maka Van Daalen beserta Van Heutsz telah bersepakat untuk membuat perencanaan semasak mungkin dalam hal ini pemilihan staf, jumlah personal, perlengkapan perang serta taktik penyerangan. Untuk staf penunjang ekspedisi maka yang diutamakan adalah mereka yang pernah menempuh jalan Takengon - Beutong – Meulaboh, dalam rangka mengejar Sultan Aceh dahulu tahun 1901, mengingat pengalaman mereka untuk medan yang hampir bersamaan.
Personal yang terlibat dalm ekspedisi ini adalah 200 prajurit beserta 450 pekerja paksa, serta beberapa staf ahli pertambangan, tofografi, beserta perlengkapan perang untuk waktu 2 bulan.
Untuk memperkuat elspedisi serta menjamin kelancaran pelaksanaan tugas, maka kedua pucuk pimpinan ini telah memutuskan untuk menikam daerah pedalaman dari sebelah timur yang selanjutnya tugas ini diserahkan kepada Kolonne Gerak Cepat Kuala Simpang dengan kekuatan 150 orang prajurit.
Dengan uraian diatas, maka jelaslah latar belakang pengiriman ekspedisi adalah :
1. Agar daerah pedalaman takluk kepada Belanda.
2. Agar daerah pedalaman tidak dijadikan pelarian dan juga tidak dijadikan daerah pensupply harta dan tenaga bagi perjuangan suci.
3. Untuk mengenal daerah pedalaman dalam hal alam, penduduk, budaya dan potensi daerah tersebut.
3. Kronika Penyerangan Belanda ke daerah Gayo Lues
Ø Srikandi Inen Mayak Tri
Setelah memakan waktu yang agak lama akhirnya terbentuklah kolonne yang akan ditugaskan untuk mengadakan ekspedisi ke daerah pedalaman, yang terdiri dari 2 buah kolonne, yaitu kolonne Kutaraja dan kolonne Kuala Simpang. Komandan ekspedisi berada di tangan Letnan Kolonel G.C.E Van Daalen dari staf Jenderal dengan ajudan Letnan J.C.J Kempees.
Kolonne Kutaraja berkekuatan 10 Brigade Marsose (198 Karaben), 450 orang pekerja paksa, sebuah ambulans, seorang insinyur tambang, seorang ahli tofografi dan seorang menteri Kebun Raya Bogor. Kolonne Kuala Simpang berkekuatan 150 orang prajurit, dipimpin oleh Kapten Creutz Lechleiner dengan dibantu Letnan-letnan Harbord, Velsing, Van Boldrik, Delgorde, Lasonder dan Granada.
Demikian akhirnya ekspedisi ke daerah pedalaman dimulai.
Pada tanggal 8 Februari 1904, bergeraklah Kolonne Kutaraja dari pelabuhan Ulee Lheue menuju Lhokseumawe, dengan menumpang tiga buah kapal api, yaitu Glatik, Gier dan Albatros. Rombongan tiba di Lhokseumawe pada 9 Februari 1904 dan hari itu juga meneruskan perjalanan ke daerah Gayo melalui Bireun.
Selang beberapa hari rombongan tiba di daerah Gayo (Takengon). Di sini tidak terjadi peperangan karena sebelumnya daerah ini telah ditaklukkan oleh Van Daalen. Kemudian rombongan bergerak ke arah barat dan di Isaq (+ 30 Km dari Takengon) terjadi kontak senjata, dimana akhirnya Reje Isaq menyerah.
Setelah mengalahkan Isaq, rombongan Van Daalen menuju Gayo Lues melalui hutan belantara yang belum pernah dilewati manusia. Pedoman Van Daalen adalah asal perjalanan terus menurut arah selatan dengan selisih maksimal 10º, niscaya tidak akan sesat dan daerah yang dituju pasti akan tercapai.
Perkiraan ini tepat, sungguhpun penderitaan anak buahnya sungguh berat. “Penderitaan yang kami alami dalam perjalanan menyebabkan timbulnya rasa kejam dalam tindak tanduk kami dalam menghadapi musuh”.
Setelah berjalan beringsut-ingsut selama 10 hari akhirnya pada tanggal 9 Maret 1904, rombongan ekspedisi berhasil menginjakkan kaki di daerah Gayo Lues, yaitu di sebuah kampung bernama Kela (+ 60 km dari Blangkejeren arah Blangpidie).
Sebelum menguraikan pertempuran di daerah Gayo Lues, terlebih dahulu diuraikan penyerangan pasukan Gerak Cepat Kolonne Kuala Simpang. Kolonne sengaja ditugaskan untuk menikam daerah Gayo Lues dari timur, agar pasukan Van Daalen dapat mengalahkan Gayo Lues dengan mudah. Gerakan diatur sedemikian rupa, seolah-olah Belanda hanya menyerang Gayo Lues dari timur saja, sehingga pejuang Gayo dikerahkan sebagian besar ke sector timur ini. Kolonne Kuala Simpang bergerak dari Kuala Simpang menuju daerah Gayo pada tanggal 12 Februari 1904. seperti telah disepakati pucuk pimpinan ekspedisi Van Daalen dan Van Heutsz. Rombongan tiba di Tingkem (+ 60 Km di sebelah timur laut Blangkejeren) dan di kampung ini terjadi pertempuran antara pejuang melawan Belanda.
Pasukan pejuang dipimpin oleh Datok Pining Tue dan Inen Mayak Tri dan mereka ini berhasil menyergap Belanda dan terjadi pertempuran dengan mempergunakan kelewang. Pemimpin di pihak Belanda adalah Kapten C. Lechleiner sendiri. Dalam pertempuran ini kapten tersebut mendapat luka berat sehingga diangkut kembali ke Kuala Simpang. Perlu dicatat bahwa dalam pertempuran Tingkem ini muncul seorang srikandi Gayo yang bernama Tripah, yang kemudian lebih terkenal dengan nama Inen Mayak Tri. Inen Mayak Tri ikut berjuang berbaur dengan para pejuang laki-laki dan sangat dipercaya beliaulah yang menetak dan membacok kapten Belanda tersebut hingga kritis.
Demikianlah pertempuran secara gerilya berlangsung terus di daerah ini, dan bala bantuan dari Gayo Lues berdatangan sehingga boleh dikatakan daerah Gayo Lues (Blangkejeren) hampir kosong dengan pejuangnya.
Dalam keadaan seperti diataslah Gayo Lues dimasuki Belanda di bawah pimpinan Van Daalen. Kedatangan Belanda di kampung Kela sama sekali di luar dugaan penduduk Gayo Lues. Di kampung ini tidak terjadi pertempuran, namun ketika Belanda beranjak dari sini, pertempuran tidak dapat dielakkan lagi.
4. Pertempuran Di Tujuh Benteng Pertahanan Gayo Lues
Secara kronologis pertempuran yang terjadi di daerah Gayo Lues, yaitu di kampung :
1. Pasir
2. Gemuyang
3. Durin
4. Badak
5. Rikit Gaib
6. Penosan dan
7. Tampeng
No comments:
Post a Comment