Tuesday, January 5, 2010

Ilmu Budaya Gayo Lues Bag.I

ILMU BUDAYA GAYO LUES
Oleh.Drs. H. M. Salim Wahab
A. PENGERTIAN BUDAYA

Kata budaya berasal dari :
1. Bahasa Sangsekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddi yang berarti budi dan akal. Budaya dapat diartikan sebagai hal yang bersangkutan dengan akal;
2. Kata budi-daya yang berarti budi dan daya, jadi kata budaya atau daya dari budi itu berarti cipta – karsa – rasa.
Budaya dalam Bahasa Inggris adalah culture, dalam Bahasa Belanda disebut cultuur, dalam Bahasa Latin cultura yang berarti pemeliharaan, pengolahan, dan penggarapan tanah. Baik Inggris dan Belanda, menggambil kata ini dari Bahasa Latin, atau dengan kata lain kata culture, cultuur berasal dari kata cultura.
Para ahli kebudayaan belum berhasil membuat definisi budaya secara baku dan permanen. Berikut ini ada 3 definisi yang kita tampilkan, yaitu :
1. SIR EDWAR BURNETT TYLOR, seorang ahli antropologi Inggris, yang pada thn. 1871 mendefinisikan budaya sebagai pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum moral, kebiasaan, dan lain-lain. Kepercayaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2. PROF. DR. KOENTJARANINGRAT, seorang ahli antropologi Indonesia, yang mendefinisikan budaya sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya, yang dihasilkan manusia. Dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar.
3. WILLIAM A. HAVILAND, seorang ahli antropologi Amerika Serikat, mendefinisikan budaya sebagai seperangkat peraturan yang standar yang apabila dipenuhi atau dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya akan menghasilkan perilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh anggota masyarakatnya.
Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat disimpulkan sbb :
1. Adanya unsur-unsur budaya berupa perilaku yang nyata di satu pihak, dan di lain pihak adanya unsur-unsur budaya berupa nilai-nilai kepercayaan, norma, dan perilaku manusia,
2. Budaya dimiliki bersama oleh seluruh anggota masyarakat pendukung budaya yang bersangkutan,
3. Budaya terbentuk sebagai hasil belajar.
B. WUJUD BUDAYA
Apabila kita memperhatikan definisi budaya menurut Kontjaraningrat, budaya dapat dikelompokkan ke dalam 3 bentuk, yaitu :
1. Sistem Gagasan
Budaya dalam bentuk ini bersifat abstrak, tidak dapat diraba, atau difoto, hanya ada dalam pikiran. Sistem gagasan yang telah dipelajari sejak dini sangat menentukan sifat dan cara berpikir, serta tingkah laku pendukung budaya tersebut. Gagasan-gagasan inilah yang akhirnya menghasilkan berbagai hasil karya manusia berdasarkan nilai-nilai, cara berpikir, dan bertingkah laku.
a. Hubungan Alam Dan Tingkah Laku Manusia
Dalam masyarakat Gayo, terlihat nyata adanya hubungan alam dan tingkah laku masyarakat. Dahulu penduduk Gayo pada umunya Gayo Lues pada khususnya sangatlah jarang. Letak antara satu rumah dengan rumah lainnya berjauhan. Bila waktu makan tiba, misalnya, seorang ibu tidak usah mencari anaknya ke tempat lain dengan berjalan kaki yang cukup memakan waktu. Cukup dengan memanggil anaknya dengan suara keras : “Ali, cepat pulang, mau makan“. Dalam radius 100 - 300 meter orang masih mendengar suara ibu ini dengan cukup jelas.
Satu hal lagi yang perlu diingat, seperti disinggung di atas, penduduk jarang, letak satu rumah dengan rumah lainnya cukup jauh. Hal ini menyebabkan orang, terutama pemuda yang berkunjung ke rumah lainnya harus ekstra hati-hati.

b. Seni Dengan Suara Keras
Ada kebiasaan para pemuda, dan juga pemudi tidak tidur di rumah masing-masing. Pemuda biasa tidur di menasah, atau di rumah kosong, atau di manah (rumah tempat penyimpanan padi). Kebiasaan tidak tidur di rumah ini mengingat rumah kecil, tidak berkamar, di sana bapak, ibu, dan anak-anak balita tidur. Janggal kalau sudah bujang, sudah gadis tidur di rumah, malu, pantang. Kalau pemuda tadi tidur di menasah, maka para pemudi tidur di rumah famili yang agak besar, pada umumnya ibu-ibu yang sudah janda atau kakek-nenek yang tidak begitu aktif lagi. Menjelang magrib, pemuda, terutama pemudi sudah harus berada di rumah peristirahatan. Dapat diduga, pemuda, terutama pemudi yang berangkat dari rumah pada sore hari harus hati-hati karena di tengah jalan banyak bahaya, ada babi, ada harimau, ada binatang buas lainnya. Sebagai alat utama dalam perjalanan para pemuda dan atau pemudi harus bersenandung keras-keras (dalam bahasa Gayo berjangin dan bersek) dengan harapan kalau ada bahaya, ada babi, ada harimau dan lain-lain, dapat menyingkir dari jalan yang dilalui.
Kebiasaan ini dilakukan dalam waktu yang cukup lama sehingga membudaya, terbawa-bawa ke seluruh tingkah laku orang Gayo. misalnya ke dalam kesenian, segala seni dilakukan dengan suara keras.
Saman harus dengan suara keras,
Bines harus dengan suara keras,
Didong harus dengan suara keras
Ke dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Orang Gayo pada umumnya berbicara dengan suara keras, sama dengan orang Batak. Kata seorang antropolog, orang Gayo itu seperti kelapa, sangat keras di luar, tetapi di dalamnya manis dan lemak.
c. Hubungan Alam Dengan Lingkungan
Alam dan lingkungan juga dapat membentuk cara berpikir dan cara bertindak, dan berperilaku. Orang yang hidup di pegunungan pada umunnya kesehariannya sering naik turun gunung. Ketika naik gunung, selalu membungkukkan diri agar jangan jatuh, mencari keseimbangan tubuh. Demikian juga ketika turun gunung. Keadaan seperti ini terbawa-bawa ke dalam keseharian, misalnya kesenian. Semua bentuk kesenian orang Gayo dilakukan dengan membungkuk-bungkuk. Saman membungkukkan tubuh, Bines membungkukkan tubuh, Didong apalagi, demikian juga kesenian Tari Guel di Gayo Laut. Daerah lain yang letaknya di pegunungan juga misalnya Batak, dengan tari Tor-tor nya juga dilakukan dengan cara membungkuk. Satu kagi ciri khas kesenian Gayo seperti sudah disinggung di atas adalah dengan suara keras, karena itu nyanyian yang bernada lembut misalnya dari Jawa, sangat tidak disukai karena bertentangan dengan jiwa Gayo sendiri. Tidak juga ketinggalan dengan perilaku keseharian hidup di daerah pegunungan penuh derita dan perjuangan yang sangat berat. Untuk mencari sesuap nasi pada masa itu harus dengan ekstra keras perjuangan harus dengan keringat dingin, dan kadang-kadang sukar mendapat bantuan dari orang lain yang sedikit jumlahnya. Kerja keras, tak sempat berbicara santai dengan kawan, berakibat orang Gayo, malas berbicara kalau sangat tidak perlu. Akibatnya dalam keseharian orang Gayo sangat malas mengucapkan kata “ berijin, terima kasih “ kepada pihak yang telah berjasa kepadanya. Anda jangan heran, kalau sekali waktu anda ke Gayo Lues khususnya, Gayo umumnya, dan anda berkeliling tempat ramai, dengarkanlah adakah orang Gayo mengucapkan berijin kepada lawan bicaranya. Jarang sungguhpun ada, seuribe sa, kata orang Aceh, artinya dalam 1000 orang yang anda jumpai hanya satu orang yang mau mengucapkan kata itu. Anda kurang yakin dengan hormat anda kami undang datang ke daerah ini.
2. Sistem Tindakan
Budaya dalam bentuk ini bersifat konkrit, dapat dilihat dan dapat difoto. Misalnya petani bekerja di sawah, karyawan bekerja di pabrik serta pelajar belajar di sekolah dan sebagainya.
Di Gayo Lues pada khususnya dan Gayo keseluruhan pada umumnya, pekerjaan menentukan orang, atau lebih tepat pekerjaan berdasarkan jenis kelamin. Setiap pekerjaan telah dibagi antara pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan. Pembagian bersifat mutlak, artinya suatu pekerjaan untuk laki-laki, tidak boleh dikerjakan oleh perempuan dan sebaliknya. Bila terjadi juga penyimpangan, pekerjaan laki-laki dikerjakan oleh perempuan, atau pekerjaan perempuan dikerjakan laki-laki, pasti mendapat ejekan, tertawaan, cacian, dan atau keprihatinan. Lalu para petua adat atau orang-orang dewasa menelusuri apa sebab musababnya, apakah masuk akal atau tidak. Setelah diselidiki ternyata benar, karena terpaksa, maka petua adat mencari jalan keluar yang terbaik, dan mengumumkan kepada publik sehingga publik maklum dan membantu mengatasi hal tersebut secara bersama.
Pekerjaan yang berat-berat adalah pekerjaan laki-laki dan sebaliknya pekerjaan yang ringan-ringan adalah pekerjaan perempuan.
Kita ambil contoh :



Pekerjaan bersawah.
Pekerjaan laki-laki adalah :
 mencangkul, membersihkan parit, membersihkan pematang, melumatkan tanah, meratakan tanah, menggirik padi, mengangkut padi ke rumah, dan lain-lain.
Pekerjaan perempuan adalah :
 menanam padi, merumput, menyabit, mengangin, dan lain-lain yang ringan-ringan.
Di luar pekerjaan yang utama di sawah tadi,
Tugas laki-laki adalah :
 menebang ladang, membersihkan ladang, menanam ladang, memelihara hewan, membuat rumah, menganyam atap.
Tugas perempuan adalah :
 urusan masak- memasak, mencari kayu bakar, anyam-menganyam tikar, mengambil air ke sungai, berbelanja ke pasar, menyapu rumah, pokoknya urusan rumah tangga, mengurus anak kecil dan lain-lain.
Tugas bersama, artinya boleh dikerjakan laki-laki dan atau perempuan misalnya menjahit, mengendong anak kalau berjalan jauh, dan yang dianggap patut, misalnya mengurung ayam atau membelah kayu bakar dan lain-lain.
Kalau ada yang mengerjakan tugas yang bukan tugasnya tentu sangat dibenci orang, diejek, bahkan disisihkan dalam pergaulan. Tidak boleh laki-laki memasak, tidak boleh laki-laki belanja ke pasar, tidak boleh laki-laki mencari kayu bakar, tidak boleh laki-laki menanam padi dan lain-lain. Sebaliknya tidak boleh perempuan, menambat lembu, tidak boleh perempuan mencangkul, tidak boleh perempuan menggirik padi, tidak boleh perempuan menganyam atap, tidak boleh perempuan menjala ikan.
Nah kalau terjadi pelanggaran, bagaimana ?
Mula-mula si pelaku ditegor, “ Hai mengapa kamu mencangkul di sawah, padahal suamimu ada ? Mengapa kamu memasak padahal istrimu ada ?”. Bila keadaan demikian maka orang menyelidiki sebab musababnya. Si ibu mencangkul di sawah, karena suaminya sakit keras di rumah sakit. Si bapak memasak karena istrinya pergi ke Kutapanjang, sedangkan anaknya yang masih kecil-kecil mau makan dan belum bisa memasak.
Kalau penyebabnya masuk akal, persoalan tersebut tidak dipermasalahkan, dan tidak boleh dibiarkan berlanjut, harus ditanggulangi. Caranya, kalau misalnya ibu yang mencangkul di sawah tadi seorang janda, anak laki-laki tak ada, maka pemuda kampung harus turun tangan mencangkul sawah si janda sampai selesai tanpa pamrih, tanpa bayaran, tanpa minta makan dan atau minum kepada si janda. Bagaimana kalau pemuda tidak mau mengingat janda ini pelit, suka memarahi pemuda, maka orang-orang tua akan memarahi dan memaksa pemuda membantu dan kalau tidak juga maka orang-orang tua akan membantu si janda ini. Kalau sudah begini keadaannya, si pemuda kampung akan menanggung malu, diejek oleh pemuda kampung lain dan dicap “ merke “ pemalas. Ujung-ujungnya gadis dari kampung lain tidak mau kawin dengan si pemuda model ini. Bagaimana kalau bapak yang memasak tadi karena istrinya sudah meninggal, anak-anak masih kecil-kecil ?. Pemudi kampung harus membantu memasak nasi bapak ini dalam batas waktu satu bulan. Di samping itu orang-orang tua kampung, baik ibu-ibu atau bapak-bapak berusaha mencari istri bapak ini ke kampung lain. Bagaimana kalau dalam tempo sebulan belum juga dapat istri, maka tugas pemudi kampung dianggap sudah selesai. Pemudi lepas dari tanggung jawab membantu. Pemudi tidak dapat dipersalahkan lagi. Kerja masak-memasak, cuci piring dan lain-lain diserahkan kepada famili terdekat.
Yang kita ceritakan di atas adalah keadaan zaman dulu kelihatannya karena pengaruh pergaulan dan perubahan zaman keadaan tersebut mengalami erosi, mengalami perubahan yang nyata dan orang tidak ambil pusing lagi untuk tugas-tugas yang ringan. Orang laki-laki sudah ada yang berani berbelanja ke pasar. Orang laki-laki sudah ada yang berani mencuci pakaian anak-anaknya, orang laki-laki sudah ada yang berani mengangkat beras dari pasar dan lain-lain. Juga sebaliknya perempuan sudah ada yang mencangkul di sawah, perempuan sudah berani menggembala lembu atau kambing dan lain-lain. Para pelaku pelanggaran ini adalah orang yang sudah pernah merantau ke luar daerah. Di daerah lain dilihatnya lain dari di daerah ini. Dilihatnya di Aceh pesisir, laki-laki berbelanja ke pasar, laki-laki memasak, membuat mie, memasak martabak. Dilihatnya yang mencuci di sungai ada juga laki-laki, dan di banyak daerah dilihatnya laki-laki dan perempuan mencangkul di sawah, di ladang dan lain-lain. Pengalaman ini sebagian ada yang diterapkan di daerah ini, sungguhpun masih mendapat tantangan dari masyarakat.
“ Tak malu, laki-laki beli ikan di pasar, tak malu laki-laki beli sayur. Tidak malu perempuan beli parang, tidak malu perempuan beli cangkul dan lain-lain “.

No comments: