Thursday, December 31, 2009

WAJAH GAYO LUES DALAM LINTASAN PERANG BELANDA DI ACEH

WAJAH GAYO LUES DALAM LINTASAN
PERANG BELANDA DI ACEH

1. Rumah Orang Gayo Pada Masa Dulu
Pada umumnya kampung di daerah Gayo Lues dibangun di dataran rendah, dekat dengan sungai. Dataran rendah dimaksudkan agar dapat dijadikan areal persawahan dan atau pertanian. Sungai sangat diperlukan dalam penghidupan sehari-hari.

Di tempat seperti itu didirikan umah (rumah) persegi panjang yang tingginya kira-kira 2 meter. Untuk mendirikan umah diserahkan kepada tukang yang di Gayo Lues disebut utus. Alat utus yang utama adalah beliung, cekeh, gergaji, dan pat. Tete (lantai), rering (dinding) dan supu (atap) semua dijalin/diikat, dengan rotan yang diolah. Alat yang disebutkan terakhir ini bukan urusan utus membuatnya tapi urusan yang punya rumah. Lantai dan dinding, mula-mula terbuat dari bambu atau temor yang dijalin.

Umah didirikan di atas suyen (tiang), yang dibuat dari kayu keras, bisa dari uyem (damar) atau kayu hutan. Letak rumah Gayo, biasa membujur dari timur ke barat dan letak kite/tangga biasa dari arah timur atau utara. Rumah yang letaknya timur – barat disebut bujur, dan utara – selatan disebut lintang. Jika diluar dari yang kita sebut diatas maka disebut sirung – gunting. Ruang dekat tangga disebut ralik dan jauh dari tangga disebut ujung dan yang ditengah disebut lah.
Undian Penghuni Rumah
Umah yang didirikan pada umumnya disebut umah pitu ruang (rumah 7 bilik). Enam bilik dihuni masing-masing satu KK, dan satu bilik/ tidak dihuni. Namun dianggap satu bilik (ruang), karena itu rumah tersebut tetap di sebut
umah pitu ruang/bilik. Timbul pertanyaan kalau ada 6 KK yang mendirikan rumah ini, siapakah yang menempati bilik ralik, ruang yang dekat tangga, bilik lah, dan bilik ujung. Bilik ralik adalah ruang yang paling disukai, bilik ujung paling tidak disukai. Rupanya orang tua kita dahulu punya cara sendiri untuk menentukan kepemilikan ruang, sebagai berikut :
Kalau hendak mendirikan umah pitu ruang, diawali dengan sebuah upacara penyerahan alat kepada utus. Lubang pertama yang dibuat dengan pat/pahat pada tiang utama (reje tiang). Calon penghuni rumah duduk setengah melingkar menghadap utus. Salah seorang penghuni meletakkan sebungkus emas yang dibungkus kain tepat di atas tiang yang akan dipahat. Utus memindahkan emas ini dan mulai memahat (memulon matani pat). Sela pertama (kepingan kayu pemahatan) harus diperhatikan kepada siapa jatuh dialah menjadi anak metuah, dia akan duduk di ruang pertama, dekat dengan tangga. Tugas anak metuah ini menyimpan sela dan emas tadi yang akan dipergunakan waktu nlongom, meresmikan rumah, benda-benda tadi dimasukkan ke dalam air dan disiram ke tiang utama tadi sebagai pengusiran roh jahat.
o o o o o o o o o o
o o o o o o o o o o Tamu
o o o o o o Penghuni rumah
1 2 3 4 5 6



Tiang utama
O
Utus
Perhatikan gambar di atas
Kalau sela jatuh ke no.1, maka dia menghuni bilik 1, no.2 bilik no.2, no.3 bilik 3 dan seterusnya.
Kalau sela jatuh ke no.4 misalnya, maka dia memilih bilik no.1, dan mana yang terbanyak duduk di sebelah kanan atau kiri, lebih banyak di sebelah kanan, maka :
Bilik no.1 dihuni oleh no.4
Bilik no.2 dihuni oleh no.1
Bilik no.3 dihuni oleh no.2
Bilik no.4 dihuni oleh no.3
Bilik no.5 dihuni oleh no.5
Bilik no.6 dihuni oleh no.6
Contoh lain : misalkan sela jatuh ke no.6, maka :
Bilik no.1 dihuni oleh no.6
Bilik no.2 dihuni oleh no.1
Bilik no.3 dihuni oleh no.2
Bilik no.4 dihuni oleh no.3
Bilik no.5 dihuni oleh no.4
Bilik no.6 dihuni oleh no.5
Bagaimana kalau sela jatuh kepada tamu. Maka keenam penghuni rumah harus menebus sela tadi dari sang tamu dengan tebusan :
1. Sara pingang kain putih / kira-kira 2 m kain putih
2. Sara are oros / 1 bambu beras
3. Sara sensim emas / 1 cincin emas
4. Sara jarum penjahit / 1 jarum jahit
Dan urutan penghuni ruang, ditentukan oleh utus dan para tamu yang dianggap patut.
Pun demikian, bila terjadi pemufakatan antara para penghuni, mereka boleh bertukar bilik.

SKET UMAH PITU RUANG

MENURUT VAN DAA LEN

UJUNG








































K I T E

= DAPUR

Rumah tidak boleh didirikan untuk satu KK saja, musti rumah bersama. Bila ada beberapa penduduk ingin membuat rumah lagi, maka caranya sama dengan pembuatan rumah pertama tadi, dan biasanya satu kampung hanya boleh memiliki 5-6 rumah panjang seperti tadi. Kalau penduduk semakin lama semakin banyak, terpaksa didirikan kampung lagi.

Serba Ringkas Uraian Tentang rumah Gayo
Perhatikan sketsa diatas.
Kita naik dari kite/tangga, masuk ke lepo sebelah kiri disebut serami rawan, sebelah kanan serami benen. Ruangan sudut rumah dibagian ralik serami benen disebut anyung. Lepo dan anyung lantainya sama tinggi. Bilik ditinggikan lantainya kira-kira 2 anak tangga, dan punya pintu ke ruang benen. Dinding ke ruang rawan tertutup sama sekali. Antara lepo dan serami benen ada pintu yang hanya ditutup pada malam hari. Bilik-bilik inilah yang digunakan keluarga bersama anak-anaknya yang masih kecil (ukuran kecil, kalau laki-laki belum sunat) sebagai kamar tidur, menyimpan barang-barang berharga seperti kain, alat tenun dan lain-lain. Barang pecah belah juga disimpan di loteng yang disebut para buang, sedangkan barang pecah belah yang dipakai sehari-hari disimpan di para di luar bilik. Tikar-tikar digulung dan diikat rapi, dan digantung di dinding bilik, dinamakan santon. Pada malam hari dapur dihidupkan untuk memanaskan badan, dan sebagai alat penerangan dibakar uyem (damar). Sedangkan siang hari dapur digunakan untuk memasak nasi, mereka biasa makan kira-kira pukul 08.00 dan sore pukul 16.00. Bilik-bilik penyimpanan barang-barang tadi disebut umah rinung atau atas rinung. Kalau dari ujung ke ujung sebelah dinding bilik disebut duru, sedangkan tempat dekat dinding luar disebut uken. Uken ini tempat menerima tamu dan makan bersama.
Atap rumah dibuat dari sange (pingping) yang diolah rapi. Daun sange dijalin di kayu keras, atau bambu yang disebut bengkon. Jarang sekali rumah di Gayo Lues dibuat dari ijuk, atau bahan lain.

2. Pembuatan Benteng dan Fungsinya
Dahulu pada umumnya rumah didirikan di tengah hutan, habitat binatang buas. Karena itu menurut akal sehat tentu saja binatang buas ini pasti mengganggu penduduk, atau harta bendanya yang dapat dimakan seperti ternak. Habitatnya ini diganggu tentu mereka pasti membalas, mengganggu manusia, salah siapa, dosa siapa. Semula gangguan binatang buas ini pada siang dan malam hari, baru setelah areal agak lapang dan bersih serta penduduk semakin banyak maka gangguan biasanya pada malam hari saja. Pada malam hari, terutama harimau rajin datang ke bawah rumah penduduk untuk memangsa ternak, atau manusia yang ke luar rumah.
Akhirnya penduduk bersepakat melawan binatang buas ini dan berusaha menghalangi kedatangannya ke dalam kampung pada malam hari. Cara yang disepakati adalah membuat tembok sekeliling kampung dengan tumpukan tanah dengan ukuran tinggi 1 – 2 meter, tebal 2 – 3 meter. Tanggul ini ditanami bambu berduri atau kayu lainnya. Dengan demikian binatang buas dapat dicegah masuk ke kampung. Jadi jelaslah bahwa fungsi benteng pada mulanya adalah untuk mencegah gangguan binatang buas.
Benteng telah dibuat, binatang buas dapat dicegah masuk, tetapi mencegah manusia masuk ke kampung sangat sukar. Perlu diingat bahwa di daerah Gayo Lues perang antarkampung sering terjadi. Kalau terjadi perang, musuh dipastikan dapat memasuki kampung. Semula kalau keadaan seperti di atas terjadi, musuh masuk kampung, maka anak-anak, perempuan dan orang tua yang uzur menjadi korban keganasan musuh. Bisa saja satu kampung penduduknya habis dibunuh, rumahnya habis dibakar, harta bendanya habis dirampas. Hal ini tidak diingini oleh akal sehat.
Rupanya waktu keadaan damai, kepala dingin, hati dingin, bermusyawarahlah orang-orang cerdik pandai dari setiap kampung. Disepakatilah secara bersama bahwa :
1. Perang tidak boleh di dalam kampung,
2. Anak-anak, perempuan dan orang tua yang tidak ikut berperang tidak boleh dibunuh,
3. Harta benda yang ada di dalam kampung musuh tidak boleh dijamah,
4. Perang hanya boleh di arena, yang terletak di luar kampung (setiap kampung wajib membuat arena perang).
Perang memang tidak mungkin dapat dicegah, karena itu aturan perang telah dibuat dan hendaknya dipatuhi. Bila ada yang tidak mematuhi, maka seluruh penduduk dari seluruh kampung akan menjatuhkan hukum kucil. Si pelaku dikeluarkan secara paksa dari kampung, dan kampung lain tidak boleh menerimanya. Biasanya orang hukuman ini hijrah untuk selamanya, ke luar daerah.
A
KAMPUNG YANG DISERANG PENONTON KAMPUNG A. YANG TIDAK IKUT PERANG PEJUANG DARI KAMPUNG A YANG AKAN IKUT PERANG ARENA PERANG PENYERANG DARI KAMPUNG B
Situasi pada saat terjadi perang antarkampung
Pendek kata perang boleh dilakukan tetapi di tempat yang sudah disiapkan di arena perang yang sudah ada di setiap kampung.

3. Sebab-sebab Terjadinya Perang Antarkampung
Perang di Gayo Lues terutama disebabkan oleh 5 hal, yaitu :
a. Dunie Terlangis,
b. Malu Tertawan,
c. Nahma Teraku,
d. Bela Mutan,
e. Persoalan Mude Mudi.

a. Dunie Terlangis :
Tanah persawahan, atau perkebunan, atau pertapakan rumah seseorang/keluarga diklaim oleh orang lain sebagai miliknya (dalam bahasa Gayo terlangis). Pada zaman dahulu ukuran tanah belum ada, hanya dikira-kira saja, karena itu perselisihan sering terjadi. Awal perselisihan ini pada umumnya disebabkan bencana alam, misalnya banjir. Dengan terjadinya banjir, batas tanah yang semula jelas bisa hilang. Ketika menata kembali batas tanah sering menimbulkan sengketa. Di samping itu ada juga si pemilik tanah pergi merantau terlalu lama misalnya sampai dua keturunan. Ketika si pemilik ini datang kembali untuk bersawah atau berkebun, atau mendirikan rumah, permasalahan sering timbul. Persawahan atau perkebunan atau pertapakan yang benar miliknya tidak begitu saja diserahkan kepadanya. Biasanya yang memegang hak milik mendesak terus agar diserahkan kepadanya, kadang-kadang tidak ditanggapi oleh yang selama ini menguasai harta tersebut. Sama-sama keras, dan biasanya ditengahi oleh orang-orang tua kampung, dan kalau tidak didengar biasa diakhiri dengan perang.
Di daerah Gayo Lues sering terjadi adanya tanah persawahan, atau perkebunan, atau pertapakan yang dipinjam pakai sementara. Contoh ada satu keluarga yang tidak punya kebun, atau sawah, atau pertapakan, oleh keluarga kaya dipinjampakaikan sebagai bantuan tanpa surat atau saksi. Selang beberapa tahun kemudian peminjam dan yang meminjamkan meninggal dunia. Entah karena tidak diberi tahu oleh orang tuanya, anak si peminjam menganggap harta yang dipinjam tadi adalah miliknya. Bila suatu waktu anak si peminjam meminta kembali miliknya, timbul perselisihan dan bisa menimbulkan perang. Sengketa tanah (dunie terlangis) di daerah Gayo Lues pada umumnya terjadi di dalam satu kampung saja, antarkeluarga, sedangkan antarkampung jarang terjadi.
Mengapa demikian ?
Di daerah Gayo Lues areal tanah untuk persawahan, perkebunan, pertapakan, areal tempat mencari kayu api, pengembalaan ternak sudah diatur dengan sangat rapi oleh reje.
Perhatikan contoh skema di bawah ini :
KAMPUNG A KAMPUNG B KAMPUNG C
PERSAWAHAN PERSAWAHAN PERSAWAHAN
PERKEBUNAN A PERKEBUNAN B PERKEBUNAN C
Blang tempat ternak mencari makan A B C
Hutan tempat mencari kayu api dan lain-lain A B C
TANAH PERKUBURAN A TANAH PERKUBURAN B TANAH PERKUBURAN C

Penduduk dari kampung A berkebun harus di tanah perkebunan yang telah disepakati yaitu di perkebunan A. bersawah harus disawah perkampungan sendiri, ternak besar, harus digembalakan di pengembalaan kampung sendiri, kayu api atau kayu perumahan diambil dari hutan kampung sendiri dan kalau meninggal dunia harus dikubur di perkuburan sendiri. Batas antarkampung biasanya sungai, atau alur atau bukit.
Bagaimana kalau terjadi pelanggaran ?
Pertama diperingatkan, kerbau dari kampung C sering merumput di kampung B. Kerbaunya ditandai dan kemudian diberi tahu kepada pemiliknya. Peringatan pertama diberikan, lalu disampaikan kepada pengulu/kepala kampung. Kepala kampung menyampaikan hal ini kepada pemilik. Bila peringatan kedua ini juga diabaikan, kerbau tadi dikurung, lalu diberitahukan kepada pemilik. Kalau sudah begini, pemilik harus menjemput kerbaunya dan minta maaf kepada kepala kampung B. kalau kejadiannya berulang lagi, maka kerbau biasanya “hilang”. Inilah asal mula perang antarkampung kalau tidak diatasi oleh kedua kepala kampung dan jema opat.
Penduduk kampung A tidak boleh bersawah atau berkebun, atau menebang kayu di tempat selain dari hak kampungnya, dan seterusnya. Terkecuali hal-hal yang sangat kecil, biasanya dimaafkan asal diberitahu kepada penduduk kampung lain yang bersangkutan.
Contoh : kayu di hutan kampung B rebah, lalu diambil sekedarnya oleh penduduk kampung A untuk memasak. Si pengambil sore harinya, kalau diambil pagi, pergi ke kampung B meminta izin bahwa kayunya sudah diambil untuk memasak. Biasanya diizinkan, tetapi bila tidak diberitahu sangat berbahaya juga bisa menjadi bibit perselisihan.
Begitu juga, penduduk yang meninggal dunia harus dikuburkan di perkuburan kampung masing-masing. Terkecuali tamu dari negeri lain yang meninggal dunia, di kampung mana dia meninggal di perkuburan itu dia dikuburkan. Pada umumnya aturan ini sangat dipatuhi dan perang antarkampung karena dunie terlangis jarang terjadi tetapi ada.

b. Malu Tertawan :

Arti secara harfiah : Malu = Perempuan
Tertawan = Ditawan
Maksudnya : Anak gadis dari satu kampung dilarikan oleh pemuda dari kampung lain.
Di Gayo Lues malu tertawan sering terjadi. Penyebab utama adalah soal unyuk (mahar). Di satu pihak mahar seseorang gadis sangat tinggi. Seorang pemuda yang ingin berumah tangga kadang-kadang terhalang karena ketiadaan mahar. Seorang gadis yang berwajah agak lumayan, tidak segan-segan orang tuanya mematok mahar tinggi-tinggi, setinggi langit. Kalau mahar tinggi dapat karena dua sebab, sebab pertama orang tua gadis tidak setuju dengan si pelamar, dan kedua memang gadis itu cantik jadi rebutan. Di daerah Gayo Lues ukuran mahar adalah kerbau dan tanah sawah. Biasa – sekali lagi – biasa, gadis cantik diminta kerbau ; 10 – 15 ekor. Kerbau ditambah sawah sekian nalih dan lain-lain. Bagi yang kaya tidak ada masalah. Bagi yang miskin, tunggu dulu. Belum tertutup kemungkinan, caranya, kalau kedua insan sudah sepakat sehidup semati ya kawin lari saja, yang di Gayo Lues disebut “naik”. Jalan yang ditempuh ini penuh resiko. Di satu pihak famili si gadis mencari si gadis sampai dapat, dan di lain pihak famili si pemuda menyembunyikan si gadis rapat-rapat. Situasi kampung mulai panas dan kedua reje, penghulu, kepala kampung mulai sibuk mencari penyelesaian. Mufakat, musyawarah dikemukakan.
Ada dua jalan yang terjadi kawin model ini. Pertama secara baik-baik. Mahar diturunkan menurut kesanggupan famili pemuda. Tidak juga sanggup, dipilih kawin angkap. Si pemuda pindah ke kampung si gadis. Bila pemuda ini kelak mampu membayar unyuk, maka keluarga ini pindah ke kampung asalnya.
Kedua secara tidak baik. Kalau kedua pihak bersikeras mempertahankan pendirian masing-masing sudah berat. Famili dan penduduk kampung si gadis mendatangi kampung pemuda mengajak perang. Perang biasa diadakan di arena yang telah ditentukan. Kalau pihak gadis kalah, maka gadis jadi dikawinkan dan sebaliknya kalau pihak gadis menang maka gadis harus dikembalikan ke kampung asalnya.
Kalau jalan kedua ini yang dipilih, timbul dendam antarkampung. Dendam model ini berumur lama sampai tujuh keturunan.
c. Nahma Teraku :
Arti secara harfiah : Nahma = Pangkat, kebesaran, mahkota
Teraku = Diakui, diambil orang lain
Perebutan pangkat atau kedudukan seseorang tidak diakui oleh orang lain dengan beberapa sebab yang masuk akal, bahkan juga tak masuk akal.
Perbuatan ini terjadi pada umumnya di tingkat atas. Kalau reje wafat, maka penggantinya adalah anaknya yang laki-laki. Kalau anak laki-lakinya banyak maka yang dipilih adalah yang tertua. Ini baru teori, belum otomatis. Ada lagi rintangan lain. Kalau disetujui oleh cerdik pandai, jema opat kampung. Kalau jema opat menilai anak sulung ini penjudi, penyabung, main perempuan, jarang ke mesjid, maka nahma/mahkota yang seharusnya menjadi miliknya lenyap. Nahma teraku, mahkota diambil/dirampas orang menurut pilihan jema opat, misalnya mereka memilih anak bungsu reje, karena dia baik, rajin ngaji, tidak pernah berjudi, suka menolong orang dan lain-lain.
Kalau begini keadaannya, maka anak tertua/sulung tadi berusaha merebut nahmanya, dengan menyusun kekuatan. Mahkota harus direbut, kalau perlu dengan perang. Perang Saudara. Sayangnya perang saudara seperti ini jarang ada pemenangnya. Kedua-duanya kalah dan pemenang biasanya pihak ketiga. Mahkota jatuh ke tangan pihak lain, tapi kedua orang bersaudara ini akhirnya hanya gigit jari. Perang model ini sangat sering terjadi, tidak saja di tingkat reje tetapi juga di tingkat-tingkat pembantu-pembantunya.
d. Bela Mutan :
Arti secara harfiah : Bela = Hak yang seharusnya diterima oleh seseorang, terhalang (mutan) karena
satu dan lain hal.
Contoh ;
Misalnya si A ditampar oleh si B, atas suatu sebab. Adalah hak si A membalas dengan menampar si B. Agar perbuatan si B yang menampar si A terbalas, terbela. Kalau si A tidak sempat membalas, karena, ketika si A hendak menampar si B tangan si A dipegang oleh orang lain. Ini disebut bela mutan, bela mutan oleh pegangan orang lain. Contoh di atas adalah soal kecil, contoh yang besar dan sering terjadi di Gayo Lues adalah soal pembunuhan.
Si A dari kampung M membunuh si B dari kampung N. Famili si B yang terbunuh berusaha membunuh si A dengan berbagai cara. Kalau – sekali lagi – kalau si A dapat dibunuh, maka famili si B sudah merasa puas, stand 1 : 1. dan sebaliknya, kalau famili si A yang membunuh tadi tidak rela si A dibunuh oleh famili si B si A ini disembunyikan, atau disuruh lari ke luar daerah, maka rencana si B yang hendak balas dendam terhalang (bahasa Gayo Mutan). Siapa yang akan dibunuh kalau pembunuhnya sudah hilang.
Ada 2 cara yang ditempuh. Pertama diberi ultimatum, dalam tempo sebulan, si A harus diserahkan kepada pihak si B. ultimatum model ini jarang dipenuhi, maka dipilih jalan/cara kedua, yaitu mengajak perang. Kalau jalan sudah buntu apa boleh buat.
e. Persoalan Mude Mudi :
Di daerah Gayo Lues pemuda dan pemudi satu kampung diikat dengan dengan erat dalam satu ikatan yang disebut “dengan”, yang maksudnya hubungan kekeluargaan antarpemuda (pa) dan pemudi (pi) sekampung sudah dianggap seayah dan seibu/muhrim. Kalau sudah demikian mereka haram kawin. Itulah sebabnya pa dan pi satu kampung dilarang keras/tabu kawin dan bahkan sekedar mengganggu sekalipun.
Mengapa demikian ?
Orang-orang tua di daerah Gayo Lues menyerahkan segala pekerjaan yang berat-berat kepada pa dan pi. Mereka bekerja di sawah bersama-sama, mencari kayu api ke hutan bersama-sama, kebersamaan mereka ini hanya diawasi oleh orang tua seperlunya saja. Para orang tua percaya bahwa anak gadis mereka dijaga oleh abangnya, dan abangnya diawasi oleh adiknya yang gadis, sehingga satu sama lain tidak pernah akan melakukan hal-hal yang sumang, lebih-lebih yang melanggar norma-norma agama. Pa dan pi harus saling jaga menjaga, harus saling ingat-mengingatkan, amal makruf nahi mungkar. Dari pengalaman, jarang terjadi pelanggaran adat dan atau agama. Untuk melakukan pelanggaran pa dan pi harus berpikir seribu kali terlebih dahulu. Kalau terjadi, hukuman adat yang berat akan dilakukan. Si pelaku akan diusir dari kampung untuk selama-lamanya, demikian juga orang tua pelaku harus tebal telinga mendengar cemoohan orang kampung. “Pagar makan tanaman, tidak malu, dsb”.
Begitupun pa dan pi dari satu kampung tidak usah berkecil hati, masih banyak jalan ke Roma. Satu kampung tidak boleh, antarkampung masih bisa. Pa dari kampung A, boleh melirik pi dari kampung B dan sebaliknya. Hanya saja harus pandai-pandai jangan diketahui oleh ”dengan” tadi. Artinya kalau pi dari kampung A hendak berpacaran dengan pa dari kampung C, misalnya harus hati-hati jangan diketahui oleh pa dari kedua kampung. Pa kampung A berusaha mencegah pi nya jangan dipacari oleh pa manapun. Kalau kedapatan sangat berbahaya. Kalau tidak kedapatan tidak apa-apa.
Pacaran antara pa dan pi diatur dengan sangat rapi dan sangat ketat. Pa bertanggung jawab atas keselamatan pi kampungnya, artinya “dengan” harus dijaga, artinya pi nya tidak diganggu oleh pa kampung lain. Malu besar dan hilang harga diri pa dari suatu kampung bila pi nya diganggu pa kampung lain. Sungguhpun demikian pa dan pi tidak boleh “berpuasa” dari pacar-pacaran, barangkali ini “hak asasi” kaum muda. Ketat tapi celah-celah masih ada. Seorang pa yang ingin berkenalan dengan pi dari kampung lain tidak dibenarkan berbicara langsung satu dengan yang lain, pantang. Dicari orang ketiga sebagai perantara, biasanya orang perempuan, yang sudah kawin yang sering berjumpa dengan si gadis. Orang ketiga ini mengutarakan isi hati pa yang bernama folan kepada gadis yang dituju. Bila si gadis menerima lalu dilanjutkan dengan langkah lain yaitu si gadis meminta tanda kesungguhan/bukti bahwa si pa benar-benar serius. Tanda ini bisa berupa “uang ringgit” Belanda dahulu, yang dibungkus dengan kain yang dalam bahasa Gayo disebut “bene”. Bila bene ini sudah diterima si pi/gadis, maka hubungan mereka sudah dianggap “resmi”. Langkah selanjutnya mengatur pertemuan antarmereka. Tapi tolong jangan dibayangkan pertemuan mereka seperti pertemuan pa dan pi zaman sekarang. Pertemuan dilakukan pada tengah malam buta, kira-kira pukul 02.00 – 04.00 WIB. Telah ada perjanjian terlebih dahulu antara keduanya via perantara yang di Gayo Lues disebut “penghubung”, bahwa pi nanti malam tidur di rumah bibi folan pada posisi paling kiri. Tengah malam si pa datang dan dengan hati-hati menuju posisi pi, dan mengetuk lantai rumah dari bawah dan kemudian mereka berbicara. Pekerjaan seperti ini di daerah Gayo Lues disebut “nrojok”. Berbicara jangan terlalu asyik, sebab mungkin langkah sudah bocor, dan pa dari kampung pi ini bisa “menerkam” si pendatang haram ini. Tapi kalau nasib berkata lain, rencana sesuai dengan kehendak, tidak ada masalah. Tetapi kalau langkah lagi sial, si pa ini tadi tertangkap, maka dia dibawa ke kumpulan pa yang sedang jaga malam. Biasanya pa yang tertangkap ini ditawan, dan diberi hadiah berupa pukulan ala kadarnya, bahkan juga ada yang sampai hilang entah ke mana. Kawan-kawan pa yang tertangkap tidak tinggal diam dan mendatangi pa dari kampung pi dan merebut yang tertangkap. Pa yang tertangkap ini tadi direbut dan diperiksa/dilihat kalau tidak seberapa hadiahnya persoalan jadi selesai, dan sebaliknya kalau sempat hilang atau parah maka perang antarkampung adalah jalan keluarnya. Biasanya pa yang masih berdarah muda memilih perang sebagai penyelesaian untuk menjaga harga diri.
Dari kelima sebab perang antarkampung tadi, sebab yang terakhir inilah yang paling sering terjadi.
Perang dilakukan tidak secara serta merta. Ada aturannya, menempuh beberapa fase, mula-mula antarkeluarga, tidak juga berhasil dibawa ke tingkat lebih tinggi, teakhir kepada reje. Bila reje inipun gagal menyelesaikannya, baru diminta bantuan reje terdekat, bila juga gagal diminta kesediaan kejurun. Kalau inipun gagal ya silakan perang.
Kejurun dan beberapa reje yang sederajat sekurang-kurangnya bisa menggunakan kekuasaannya, bila terdapat dua reje bertikai dalam kekuasaannya guna mendamaikannya. Namun, tidaklah selamanya penyelesaian terhadap perselisihan ini bisa dilaksanakan dengan baik dan mulus.
Timbul sesuatu tuntutan dari satu belah kepada belah yang lain, biasanya karena tidak terpenuhinya atau ada penolakan terhadap sesuatu tuntutan. Misalnya pada suatu tuntutan menyerahkan bela, sebenarnya masih bisa diusahakan kerja sama pihak edet dan hukum demi menghindari terjadinya perang. Sama halnya dengan kawin lari atau melarikan gadis. Kejadian seperti ini akan terjadi penuntutan kepada belah lelaki, tetapi oleh kebijakan Reje tuntutan ini bisa dicegah, ini namanya merengel atau merangal (Aceh, langga) namun ada juga diakhiri dengan pecahnya perang yang disebut perang peger (peger = pagar), satu perkelahian antara kedua kampung (pelolo). Di Jawa disebut perang desa dan di dalam masyarakat Melayu dinamai perang risau.
Kalau juga tuntutan terhadap sesuatu belah tidak mau dipenuhi, seperti pembayaran hutang saudaranya ataupun tidak mau menyerahkan seorang bela yang telah melakukan pembunuhan, maka tidak ada jalan lain kecuali prang (perang). (¹)

4. Aturan dan Pelaksanaan Perang dalam Pandangan Masyarakat Gayo Lues

Di Gayo Lues berlaku aturan perang sebagai berikut :
1. Perang hanya dibenarkan di arena, yang telah ditetapkan di luar kampung.
2. Jumlah peserta harus sama, setelah disepakati terlebih dahulu.
3. Perang hanya dibenarkan pada siang hari.
4. Musuh yang sudah menyerah, tidak boleh dibunuh. Menyerah, misalnya dengan membuang pedangnya, atau memegang kaki lawannya.
5. Kalau kaum ibu sudah masuk arena, perang harus dihentikan.
Tentang penguasa selama perang, guru perang, persiapan perang, ketentuan perang dan berdamai, dapat kita ikuti ulasan SHG, sebagai berikut :
Bercerita tentang perang, orang Gayo banyak mengenal peraturan dan ketentuan adat yang antara satu dengan lainnya saling berhubungan, yang kalau kita teliti pelaksanaannya di dalam praktek, aturan-aturannya tidak banyak menyimpang dari aturan perang antarbangsa yang telah maju dan sudah memiliki hukum dan ketentuan perang.
Pertama-tama langsung perang opini, perang pengaruh-mempengaruhi di luar edet dan hukum masing-masing, jadi sementara kedua belah pihak dari yang mewakili masing-masing kelompok yang bertikai masih semua non-aktif. Kini tampil tokoh panglime yang bertindak mewakili reje dengan mengenakan seperangkat pakaian yang lengkap. Yang dipilih tentu saja orang yang sesuai dengan tugasnya sebagai panglima dan sudah berpengalaman. Kemudian setelah itu barulah tampil reje dengan satu upacara kebesaran dengan mengenakan pakaian kebesaran lengkap dari kepala sampai kaki (salin, seger turun) dan dengan persenjataan yang sudah dipesijuk dengan tepung tawar. Dialah panglime lapangan yang juga disebut panglime cik. Juga orang lain yang sudah pernah mempunyai pengalaman perang, disebut panglime, dan kadang-kadang bagi partai yang pernah kalah perang tidak segan-segan mengambil atau mengontrak panglime yang berpengalaman dari luar daerahnya.
Sama halnya dengan reje, demikian juga tue sangat berpengaruh selama perang berlangsung. Dia dinamai pemetar (Gayo Lues; pemitar) juga ditetapkan sebagai panglime dan bertindak sebagai tangan kanan dari reje. Disamping itu, dia masih didampingi oleh juere perang, yang ditugasi pasukan yang berbalik pulang.
Imem yang sebenarnya pemegang perlu sunet dalam bidang agama Islam, yang seharusnya mesti mencegah perselisihan antara satu agama, tetapi sebagai kapasitas seorang anggota saudere, dia pun harus berpartisipasi.
Imem memegang pangkat guru perang yang menentukan dan meramal waktu yang baik dan buruk, pendeknya dengan segala ilmunya menetapkan saat-saat dan arah yang tepat turun ke arena, yang kadang-kadang dinilai bisa lebih berharga dari persiapan senjata. Kalau seorang reje tidak memiliki seorang guru perang dalam kalangan sauderenya bukan tidak mungkin menyewa guru perang dari daerah lain, bahkan sampai ada dari luar tanah Gayo (misalnya Melayu atau orang dari Kerinci) walau dengan gaji yang cukup tinggi. Maka para imem yang sekaligus adalah guru perang dituntut memperkaya ilmunya yang Omnium Consensu, ilmu diluar bidang agama, walaupun kadang-kadang mencarinya sampai Tanah Batak. Guru perang bisa meningkat menjadi pemetar dalam asuhan seorang tue dan panglime sendiri oleh reje.
Sedangkan di Gayo Lues perangkat pemerintahan (reje atau cik sebagai mude, wakil, imem, katip) masing-masing mempunyai panglime lain-lain. Mereka semua yang menanggul senjata disebut pemetar, tetapi dalam satu kampung hanya terdapat satu orang juare dan hanya seorang guru saja.
Kedua belah pihak yang bertikai mulai memperkuat pertahanan kampungnya masing-masing dengan membuat unggukan tanah sekeliling yang disebut (dewal). Di atasnya ditancapkan bambu yang disebut jejaring dengan ujungnya diruncingkan dan disebut jungir. Bukan dengan maksud dimana kampung tersebut akan dijadikan tempat bertahan, tetapi adalah karena dikhawatirkan akan datang ancaman musuh di waktu malam atau guna melindungi kampung dari sasaran tembakan musuh.
Kemah-kemah biasa dibangun di lapangan terbuka antara kedua kampung yang berperang, bisa di dalam belang (lapangan) atau di tengah sawah. Di sinilah arena “perang” bakal dilakukan sampai berkesudahan dengan salah satu kelompok terpaksa melarikan diri. Dalam keadaan demikian yang lari itu masih akan dikejar dan masih bisa ditembak sebelum dia memasuki kampungnya. Dalam keadaan kacau-balau demikian, perempuan-perempuan dari kedua kelompok datang (perempuan tidak pernah ikut dalam “perang”) yang disebut latbai. Perempuan-perempuan tidak boleh berpihak, datang melerai dengan bermacam cara serta menggiring mereka sampai di pinggir kampungnya masing-masing. Perempuan-perempuan ini pulalah yang menolong orang-orang yang terluka dan mengumpulkan mayat yang sudah tewas.
Perang sebenarnya berlangsung di luar kampung. Perampasan terhadap hak milik oleh yang bermusuhan hanya terbatas pada ternak dan sapi saja. Kalau terjadi pertempuran yang berlangsung lama, pengejaran terhadap yang kalah bisa terjadi sampai jauh meninggalkan kampung, namun demikian pembakaran terhadap kampung atau pemusnahan rumah kediaman, jarang sekali terjadi, mereka berperang hanya terhadap edet saja.
Menurut penuturan orang dari Gayo Lues (di tempat ini lebih sering terjadi perang), pernah terjadi pembakaran kampung. Kejadian ini sesudah mengalami perang berlarut-larut dan benar-benar pahit. Karena dahsyatnya, masing-masing pihak telah menyuarakan akan membakar hangus kampung pihak lawan.
Selanjutnya seorang musuh yang telah menjatuhkan diri menyerah minta ampun biasanya memegang kaki yang menang tidak boleh dibunuh lagi. Demikian juga merampas benda-benda dalam kampung musuh yang telah ditinggalkan, hanya boleh membawa sesuatu segemggam tangan saja dan tidak boleh dari tangan perempuan yang tidak melarikan diri. Tetapi, dalm praktek, hal ini kadang-kadang terabaikan malah sering kampung yang kosong itu disikat habis.
Biasanya perang berakhir sesudah mengalami kerugian, baik dialami oleh satu pihak atau oleh kedua-duanya. Setelah keduanya berunding lalu damai (dame) tentu saja setelah masuk orang-orang penengah (meragih) dan akhirnya penguasa dari kedua partai mengulurkan tangan untuk berdamai. Asal ni perang tekedi, kuli ni dawi terpikir, demikian bunyi pepatah Gayo, yang artinya; “asal dari perang karena takdir, hasil dari damai karena berpikir”.
Kini kita mengerti bahwa perang antara kedua Kejurun terjadi karena kurangnya pertimbangan belaka. Di samping banyak penyebab lain tidak jelasnya batas wilayah seseorang reje, sehingga kadang-kadang kepentingan yang satu dengan yang lain bisa terganggu yang membuat sepihak mengundang amarah. Apalagi batas-batas alam antar satu daerah dan daerah lain merupakan penghalang besar bagi pembauran keduanya, jauh dari lalu lintas yang aman dan damai. Pernah juga jadi penyebab perang antara Reje-reje di bawah Kejurun yang berbeda, tetapi ini jarang terjadi. Kita masih diingatkan akan satu perang yang terjadi Tanamaq (daerah Deret). Perang ini yang menyebabkan perpecahan Pengulu Bedaq dan sebagian ada yang lari ke Bintang sebelah Timur Danau Laut Tawar. Juga dikabarkan pernah di Serule (Deret) dan Bukit (daerah Laut Tawar) yang penyelesaian perselisihannya terpaksa diakhiri dengan mengangkat senjata, malah kejadian ini lebih dari satu kali.
Perang menurut edet adalah perkelahian yang terjadi antar reje yang satu dengan reje yang lain yang berada dalam kawasan seorang kejurun. Di daerah danau perang ini jarang terjadi dan atas nama anak buah Reje Cik, sepanjang ingatan orang tidak ada terdengar perang baik antar sesamanya apalagi dengan pihak lain. Pada anak buah Reje Bukit juga orang bercerita jarang terdengar tetapi ada. Di daerah Deret yang memang penduduknya pun sudah jarang sering terjadi perang. Sebaliknya lebih sering lagi di daerah Gayo Lues terkenal dengan perang-perang yang lebih panjang yang belum lama ini pernah terjadi salah seorang famili dari Kejurun Patiambang mati dalam satu pertempuran. (2)
Kita telah menguraikan arti perang menurut pandangan masyarakat Gayo. ketika Belanda datang ke Gayo Lues, rakyat Gayo Lues yang masih lugu, sederhana, jujur, menganggap bahwa perang dengan Belanda juga seperti perang model Gayo. perang tidak akan terjadi di dalam benteng, perempuan, anak-anak, dan orang tua yang sudah uzur tidak akan dibunuh, jumlah peserta sama, alat/senjata harus seimbang.
Atas dasar pemikiran sepeti di atas, pada mulanya rakyat Gayo Lues berkumpul di tanggul, untuk menonton perang dengan Belanda. Tapi kemudian baru diketahui bahwa perang dengan Belanda lain, tidak menurut model perang Gayo. Mereka tidak lagi menonton perang tapi langsung masuk ke dalam benteng dengan harapan mereka tidak akan diganggu musuh. Belakangan baru diketahui bahwa Belanda juga membunuh rakyat yang berada di dalam benteng. Bagi Belanda berlaku semboyan “bunuh” kalau tidak musuh akan “membunuh”. Begitulah cara Belanda yang katanya menjunjung tinggi HAK ASASI MANUSIA (HAM). Melanggar HAM

No comments: